Selasa, 20 November 2012

Politik Pemiskinan Ala Pemerintah

Politik Pemiskinan Ala Pemerintah 

 

 

Kenaikan harga BBM ditunda, akan tetapi kebutuhan dasar (pangan, papan, kesehatan, pendidikan) tetap merangsek naik. Sektor riil di Indonesia belum bangkit. Penghasilan dan daya beli masyarakat tetap. Pengganggur meningkat. Orangtua terpaksa mengorbankan pendidikan anak dan kualitas gizi makanannya. Generasi hilang sudah didepan mata! Namun peran negara justru semakin lemah terhadap mayoritas rakyatnya yang menjerit dihimpit beban ekonomi. Memakai batas garis kemiskinan 2 dollar per hari dari bank dunia (2010), jumlah penduduk miskin dan rentan menjadi miskin di Indonesia adalah 108,78 juta (49%). Empat dari 23 indikator yang digunakan untuk menentukan hal ini adalah: pertikaian politik yang berlarut-larut, bencana alam karena kelalaian manusia, ketidakadilan dalam sistem pembagian kekayaan, serta pertumbuhan dan kebijakan pembangunan yang tidak memihak kaum miskin. 

Wujud paling kasar dari ketidakadilan sosial adalah kemiskinan struktural. Seberapa pun kerasnya berusaha, orang tetap tidak berdaya dalam suatu relasi ketergantungan yang tidak seimbang. Tergilas ekonomi pasar yang tidak peduli berapa banyak orang jatuh miskin. Indonesia negara maritim, tetapi nelayannya miskin. Negara agraris, tetapi petaninya miskin. Seyogyanya negara mengatasi kemiskinan bukan dengan bantuan yang membuat orang merasa miskin, tetapi kaum miskin memiliki akses memperoleh kebutuhan dasar. Martabat orang miskin terjaga ketika mereka menjadi tuan atas nasib sendiri. Kesenjangan sosial bukan direspon dengan membenturkan kaum berpunya dan kaum tak berpunya. Politik pengentasan kemiskinan menjamin hak-hak ekonomi warga. Ketidakadilan sosial adalah potret kegagalan pemerintah dalam mendekontruksi struktur-struktur yang tidak adil. Tingkat bunuh diri dikalangan masyarakat dari berbagai jender dan usia yang diberatkan akibat kenaikan harga berbagai komoditas dan pelayanan sosial merupakan hasil ketidakmerataan pembangunan ekonomi. 

Mereka adalah korban krisis pangan global, liberalisasi ekonomi, persaingan global, pemangkasan subsidi, dan jeratan utang rentenir. Rakyat merindukan kebangkitan bangsa. Kebangkitan ekonomi! Warga korban lumpur Lapindo tiba-tiba menjadi miskin karena lemahnya peran negara. Kekayaan bumi kita disedot kapitalis asing. Kita menjual minyak dan gas alam ke luar. Namun ketika kita perlu, kita membelinya dari Singapura yang tidak punya sumber daya alam. Dulu sumber daya alam kita dikuasai penjajah asing, kini kita sesak napas dalam cengkraman perusahaan multinasional. Pemerintah giat menarik investasi asing, tetapi tidak serius mengambil hati warga sendiri untuk berinvestasi dan membiarkan modal WNI menumpuk di Singapura. Tentu ini bukan soal nasionalisme. Elite politik kita rela memberikan konsesi kepada asing dengan menggadaikan kekayaan negeri. Membangun negeri diatas modal asing sama dengan menanam bom waktu pada pembangunan. Rakyat dihimpit beban berat. Namun, tidak ada gerakan dari pemerintah untuk memangkas gaji dan fasilitas pejabat. 

Sementara politisi berasyik-asyik dengan politik pencitraan. Penyelenggara negara menikmati kemewahan diatas kemiskinan sebagian besar rakyat. Mengutip kata Tan Malaka, rakyat dibuat susah oleh kaum nasionalis-imperialis. Nasionalis sebutannya, imperialis perbuatannya. Negeri miskin seperti Bolivia berhasil membuat sumber daya minyaknya kembali dinikmati rakyat. Mengapa Indonesia tidak mampu melakukan hal itu? Sungguh ironi, ditanah yang penuh kekayaan alam berjuta rakyat menggantungkan hidupnya diatas bantuan langsung yang memiliki rentang waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar