Politik Pemiskinan Ala Pemerintah
Kenaikan harga BBM ditunda, akan tetapi kebutuhan dasar (pangan, papan,
kesehatan, pendidikan) tetap merangsek naik. Sektor riil di Indonesia
belum bangkit. Penghasilan dan daya beli masyarakat tetap. Pengganggur
meningkat. Orangtua terpaksa mengorbankan pendidikan anak dan kualitas
gizi makanannya. Generasi hilang sudah didepan mata! Namun peran negara
justru semakin lemah terhadap mayoritas rakyatnya yang menjerit dihimpit
beban ekonomi.
Memakai batas garis kemiskinan 2 dollar per hari dari bank dunia (2010),
jumlah penduduk miskin dan rentan menjadi miskin di Indonesia adalah
108,78 juta (49%). Empat dari 23 indikator yang digunakan untuk
menentukan hal ini adalah: pertikaian politik yang berlarut-larut,
bencana alam karena kelalaian manusia, ketidakadilan dalam sistem
pembagian kekayaan, serta pertumbuhan dan kebijakan pembangunan yang
tidak memihak kaum miskin.
Wujud paling kasar dari ketidakadilan sosial
adalah kemiskinan struktural. Seberapa pun kerasnya berusaha, orang
tetap tidak berdaya dalam suatu relasi ketergantungan yang tidak
seimbang. Tergilas ekonomi pasar yang tidak peduli berapa banyak orang
jatuh miskin. Indonesia negara maritim, tetapi nelayannya miskin. Negara
agraris, tetapi petaninya miskin.
Seyogyanya negara mengatasi kemiskinan bukan dengan bantuan yang membuat
orang merasa miskin, tetapi kaum miskin memiliki akses memperoleh
kebutuhan dasar. Martabat orang miskin terjaga ketika mereka menjadi
tuan atas nasib sendiri. Kesenjangan sosial bukan direspon dengan
membenturkan kaum berpunya dan kaum tak berpunya. Politik pengentasan
kemiskinan menjamin hak-hak ekonomi warga. Ketidakadilan sosial adalah
potret kegagalan pemerintah dalam mendekontruksi struktur-struktur yang
tidak adil. Tingkat bunuh diri dikalangan masyarakat dari berbagai
jender dan usia yang diberatkan akibat kenaikan harga berbagai komoditas
dan pelayanan sosial merupakan hasil ketidakmerataan pembangunan
ekonomi.
Mereka adalah korban krisis pangan global, liberalisasi
ekonomi, persaingan global, pemangkasan subsidi, dan jeratan utang
rentenir.
Rakyat merindukan kebangkitan bangsa. Kebangkitan ekonomi! Warga korban
lumpur Lapindo tiba-tiba menjadi miskin karena lemahnya peran negara.
Kekayaan bumi kita disedot kapitalis asing. Kita menjual minyak dan gas
alam ke luar. Namun ketika kita perlu, kita membelinya dari Singapura
yang tidak punya sumber daya alam. Dulu sumber daya alam kita dikuasai
penjajah asing, kini kita sesak napas dalam cengkraman perusahaan
multinasional. Pemerintah giat menarik investasi asing, tetapi tidak
serius mengambil hati warga sendiri untuk berinvestasi dan membiarkan
modal WNI menumpuk di Singapura. Tentu ini bukan soal nasionalisme.
Elite politik kita rela memberikan konsesi kepada asing dengan
menggadaikan kekayaan negeri. Membangun negeri diatas modal asing sama
dengan menanam bom waktu pada pembangunan.
Rakyat dihimpit beban berat. Namun, tidak ada gerakan dari pemerintah
untuk memangkas gaji dan fasilitas pejabat.
Sementara politisi
berasyik-asyik dengan politik pencitraan. Penyelenggara negara menikmati
kemewahan diatas kemiskinan sebagian besar rakyat. Mengutip kata Tan
Malaka, rakyat dibuat susah oleh kaum nasionalis-imperialis. Nasionalis
sebutannya, imperialis perbuatannya. Negeri miskin seperti Bolivia
berhasil membuat sumber daya minyaknya kembali dinikmati rakyat. Mengapa
Indonesia tidak mampu melakukan hal itu? Sungguh ironi, ditanah yang
penuh kekayaan alam berjuta rakyat menggantungkan hidupnya diatas
bantuan langsung yang memiliki rentang waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar