Kamis, 28 April 2016

Mereka yang ‘dibui tanpa jeruji’

Ratusan warga Indonesia terpaksa hidup “mengembara” dari satu negara ke negara lain setelah paspor mereka dicabut menyusul Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Tidak ada angka yang jelas berapa jumlah warga Indonesia yang tidak bisa kembali. Namun pada awal 1960an, ribuan orang dikirim ke luar negeri oleh Presiden Soekarno saat itu untuk melanjutkan pendidikan, sebagai utusan Indonesia dalam organisasi ataupun sebagai diplomat, menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI, Asvi Warman Adam. Asvi mengatakan banyak di antara warga Indonesia ini yang “mengembara” dari satu negara ke negara lain setelah paspor mereka dicabut karena “dibayangi ketakutan bahwa mereka akan dipulangkan dan di Indonesia akan ditangkap.”
Sejarawan Bonnie Triyana menyebut mereka sebagai “eksil-eksil yang dibui tanpa jeruji karena sama seperti korban di Indonesia, tak bisa melakukan sesuatu sebebas manusia lainnya.” “Berdasarkan riset saya yang terjadi pada 1965-1966 dan juga 1969, urusan ideologi tak lagi relevan, siapapun yang dianggap bahaya bagi kemunculan Orde Baru dihabisin, apakah dia nasionalis, komunis ataupun kalangan agama,” kata Bonnie, Pemimpin Redaksi Majalah Historia. Inilah pengalaman sejumlah di antara mereka – yang berusia 70an dan 80an dan saat ini tinggal di Belanda.
para eksil yang tinggal di Belanda 
Dari kiri: Sungkono, Ibrahim Isa, Sarmadji dan Chalik Hamid, saat ini tinggal di Belanda
 

Ibrahim Isa, ‘Sakitnya dicabut identitas’

“Yang pertama itu adalah penderitaan dari segi harga diri. Ketika paspor saya dicabut dan identitas saya dicabut, seolah nyawa saya sendiri yang dicabut. Sakit sekali.” “Sejak umur 15 tahun saya terlibat dalam Badan Keamanan Rakyat yang kemudian menjadi Tentara Rakyat. Saya ikut berjuang (melawan penjajahan Belanda). Hidup saya untuk Indonesia. Saya juga pernah jadi guru untuk mendidik, tetapi mengapa sampai begini?” “Namun kami tak boleh tinggal pada penderitaan. Saya dan banyak teman saya tak ada perasaan balas dendam. Kami sepenuhnya realis. Yang penting bersama-sama menghadapi. Sejak jatuhnya Suharto, ada kemajuan (dari sisi penegakan hak asasi manusia). Saya punya keyakinan, kemajuan akan terus terjadi.” Ibrahim Isa bertugas mewakili Indonesia pada akhir 1960 dalam Organisasi Kesetiakawanan Asia Afrika yang berkantor di Kairo, Mesir, bersama perwakilan dari delapan negara lain.

Isa sempat kembali ke Jakarta dua minggu setelah Peristiwa G30 September meletus untuk menghadiri Konferensi Anti Pangkalan Militer Asing pada 17 Oktober 1965. Paspornya dicabut setelah mengikuti Konferensi Trikontinental Asia Afika dan Amerika Latin pada 1966. “Dari Indonesia tak ada yang datang, karena ada perubahan besar dan kami diminta datang (oleh Organisasi Konperensi Kesetiawakanan Asia Afrika) bersama beberapa teman Tiba-tiba ada orang Indonesia yang datang dan saya katakan kepada panitia bahwa yang datang adalah militer.” “Ini membuat Jakarta marah, Ibrahim Isa disebut Gestapu dan pengkhianat bangsa.” Dari Kuba, Isa mendapatkan tawaran untuk bekerja di lembaga riset Asia Afrika di Beijing, Cina dan tinggal di sana selama 20 tahun sampai 1986 sebelum akhirnya menetap di Belanda.

Chalik Hamid, ‘Kuburan kami ada di mana-mana’

Chalik berada di Tirana, Albania, untuk mempelajari kesusasteraan negara itu saat terjadi Peristiwa 30 September 1965. “Kami tak tahu peristiwa itu. Di Albania sedikit sekali informasi dari luar baik dari radio dan koran sangat terbatas.” kata Chalik yang pernah menjadi anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia dan ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan sayap kiri di Medan.

“Waktu itu kami 10 orang Indonesia dan rombongan kedua 15 orang…Semua paspor kami dicabut oleh petugas KBRI yang datang dari Cekoslowakia (waktu itu) karena kedutaan Indonesia di Albania dirangkap di sana.” “Selama 25 tahun kami tinggal di Albania. Kami tidak punya paspor dan hanya dikasih izin tinggal. Di Tirana pun kami tidak boleh meninggalkan kota sejauh 50 kilometer. Jadi kami tak pernah keluar dari Albania selama 25 tahun.” “Saya bekerja sebagai penerjemah di Radio Tirana bahasa Indonesia dan selain radio saya harus kerja di pabrik besi yang produksi alat traktor.” “(Selama di Albania), saya tak melihat ibu saya meninggal, kemudian ayah saya dan abang saya. Bukan hanya itu, saya dengar abang saya dicincang dan setelah dikubur karena mereka belum yakin (identitasnya), kemudian digali lagi dan ditinggalkan begitu saja tanpa dikubur lagi. Itu menjadi pikiran saya. Tapi mau bagaimana lagi.”

 “Saya banyak menulis puisi yang saya tulis pada dasarnya menentang rezim Orde Baru, di antaranya berjudul Kuburan Kami ada Di mana-mana.” “Kuburan kami ada di mana-mana, kuburan kami berserakan di mana-mana, di berbagai negeri, berbagai benua. Kami adalah orang orang Indonesia yang dicampakkan dari Indonesia, paspor kami dirampas sang penguasa, tak boleh pulang ke halaman tercinta. Kami terus didiskriminasi dan dicampakkan,” Chalik menyampaikan salah satu puisi yang ia tulis. Saat terjadi kekacauan di Eropa Timur pada awal 1990an, Chalik pindah ke Belanda dan menetap di sana sampai sekarang.

Sungkono: Dari Moskow, menjajaki ‘pulang’ lewat Cina, Vietnam dan Thailand

“Pada September 1965 saya berada di Moskow sedang belajar teknik mesin dan dikirim oleh Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan sejak tahun 1962.” “Pada 1966, kedutaan Indonesia di Moskow mengumpulkan mahasiswa Indonesia untuk di-screening dengan berbagai pertanyaan antara lain bagaimana sikap kami terhadap Peristiwa 1965. Saya jawab saya tidak tahu menahu karena saya di luar negeri.” “Pada Juni 1966, mulai ada jawaban terhadap mahasiswa yang discreening. Yang dicabut paspornya secara kolektif, dibilang disangsikan kesetiaannya terhadap pemerintah Indonesia.” “(Walau paspor dicabut), Saya tetap belajar sampai tamat. Pemerintah Uni Soviet saat itu memberi kesempatan sampai selesai tahun 1967, dan sempat ditawarkan untuk bekerja dan tinggal di sana.”

“Setelah lulus, keinginan kontak keluarga semakin mendalam. Kami berusaha ke Asia dan memilih Tiongkok…Saya kemudian pernah ke Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand untuk menjajaki pulang. Tapi tak berhasil.” “Akhirnya tahun 1981 meninggalkan Tiongkok ke Belanda (sampai sekarang), dan pada 1987, kami mendirikan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia untuk memelihara hubungan kekeluargaan kami yang berada di luar negeri, khususnya di Belanda.”

Sarmadji, “mengubah kesedihan menjadi kekuatan”

“Saat terjadi Peristiwa 1965, saya tengah sekolah di Tiongkok dan saya tidak tahu menahu apa yang terjadi.”Sarmadji mengumpulkan sekitar 3.000 buku, sebagian besar tentang apa yang terjadi pada 1965 dan 1966 dan membuka perpustakaan di rumahnya yang dibuka untuk umum. “Perpustakaan ini adalah monumen peringatan bagi mereka yang dicabut paspornya secara paksa dan meninggal di luar negeri. Jumlahnya yang sudah meninggal sekitar 130 orang dari Tiongkok sampai Eropa Barat.” “Saya mengumpulkan (buku-buku) ini untuk mengubah kesedihan menjadi kekuatan. Berangsur-angsur kekuatan saya bertambah dan kesedihan saya berkurang,” kata Sarmadji.

Pengakuan apa yang terjadi

Baik Isa, Sungkono, Chalik dan Sarmadji berharap salah satu hal yang akan dilakukan pemerintah adalah pengakuan atas apa yang terjadi pada 1965 dan 1966. “Yang pertama akui apa yang terjadi, seperti yang sudah diakui oleh Komnas, dan yang penting juga adalah rehabilitasi nama baik dan hak hak politik dari warga negara yang direnggut hak-haknya,” kata Isa. Pada 2012 lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan terjadi pelanggaran HAM berat pada 1965-1966. “Sebagai utang sejarah masa lalu negeri ini, penyelesaian (pelanggaran HAM berat) dapat ditempuh melalui mekanisme rekonsiliasi,” kata Profesor Hafid Abbas, anggota Komnas HAM.

“Idealnya mekanisme penyelesaian kasus semestinya diatur dalam suatu undang-undang. Sayang sekali UU KKR telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006. Masih belum terlambat pada periode kabinet Presiden Joko Widodo, rekonsiliasi diselesaikan dengan menyiapkan UU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) yang memerlukan dukungan politik presiden,” kata Hafid kepada BBC Indonesia. Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, yang menyebut para eksil sebagai “orang-orang Indonesia yang teraniaya”, mengatakan kasus masa lalu ini harus dipilah-pilah karena menyangkut berbagai hal.
“Misalnya untuk para eksil adalah soal pencabutan paspor, yang perlu dijadikan satu kasus, dan kemudian kasus lain seperti diskriminasi anak korban yang tak

 

Malam jahanam di hutan jati Jeglong

Pada siang nan terik di awal pekan kedua September, di salah-satu sudut hamparan hutan jati yang meranggas di pinggiran Kota Pati, Jateng, pria ringkih itu terlihat tenang ketika tangannya menunjuk sebuah gundukan tanah. "Di sini, 10 orang dalam keadaan terikat, ditembak dari belakang, dan dimasukkan lubang." Radimin, pria ringkih berusia 80 tahun itu, mengungkapkan kejadian horor itu yang dia saksikan pada sebuah malam kira-kira 50 tahun silam. Dia kemudian melangkah beberapa meter ke arah timur, dan menunjuk sebuah gundukan tanah lainnya. Di dalamnya ada 15 jasad manusia, katanya.

Radimin menunjuk gundukan yang diyakini merupakan kuburan massal orang-orang yang dituduh anggota atau simpatisan PKI. Pria berusia 80 tahun ini merupakan saksi mata saat pembantaian 50 tahun silam.  

"15 orang lainnya (dipaksa) lari-lari dari mobil, (dipaksa) masuk lubang. (Dan) ditembak di dalam lubang," ujarnya, datar. Gundukan tanah, yang di atasnya tumbuh ilalang kering, adalah kuburan massal 25 orang yang dituduh simpatisan atau anggota Partai Komunis Indonesia, PKI - atau orang-orang yang cuma dikait-kaitkan.Dari 10 lubang yang digali, 25 orang itu dikubur dalam tiga lubang terpisah. Tiga lubang lainnya dibiarkan menganga hingga sekarang, dan empat lubang lainnya ditanami pohon pisang oleh warga.

'Saya dipaksa melihat dari dekat'

Ketika saya datangi, lokasi pembantaian yang terletak di hutan Jeglong, milik Perhutani, Desa Mantup, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, terlihat agak senyap. Hanya terdengar suara nyaring Radimin dan suara gesekan sepatu dan rumput kering, serta sayup-sayup kicau burung di kejauhan. Tapi di malam jahanam pada Desember 1965 lalu, Radimin dipaksa menyaksikan tindakan brutal -yang barangkali sulit dia lupakan seumur hidupnya. Para pelaku pembantaian, menurutnya, adalah orang-orang dari "Pemuda Garuda Pancasila" yang disebutnya menggunakan senjata milik aparat kepolisian dan tentara.


"Saya dipaksa melihat dari dekat, nggak boleh jauh-jauh," ungkap petani yang tinggal di desa tidak jauh dari lokasi pembantaian. Dari percakapan diantara para pelaku pembantaian, dia mendengar bahwa orang-orang naas itu -yang ditutup matanya- dianggap anggota atau simpatisan PKI. "Orang-orang itu dicap jahat, PKI, pengkhianat, pokoke (pokoknya) dianggap mau menjatuhkan pemerintahan," tambahnya kepada saya, sesekali dengan menggunakan bahasa Jawa.

Mengenali satu korban

Tidak diketahui siapa-siapa yang jasadnya terkubur di hutan jati itu, tetapi salah-seorang korbannya diketahui oleh Radimin sebagai kenalannya. "Orang itu bernama Jaiz. Radimin mengenalinya, karena secara tak sengaja penutup mata korban terbuka, ketika dia terjatuh setelah berupaya lari," kata Radimin, seperti ditirukan Supardi, eks tahanan politik Pulau Buru, salah-satu orang pertama yang mengungkap kuburan massal "Jeglong".

 
 Supardi, eks tapol pulau Buru, menuntut pemerintah membongkar kuburan massal korban '65. "Benarkah yang dikubur itu orang 'jelek'? Benarkah orang-orang yang dibunuh itu bersalah?"

Supardi, 75 tahun, juga mengaku mengenali sosok Jaiz yang disebutnya calon relawan yang hendak dikirim ke Kalimantan saat Indonesia terlibat konfrontasi dengan Malaysia pada 1964. Lainnya? Supardi mengangkat bahu. Tidak tahu. "Semua itu rahasia, tertutup. Mereka belum pasti dari Pati. Mereka biasanya diambil malam hari. Istilahnya dibon," ungkapnya. Menurutnya, pemerintah yang wajib mengungkap siapa yang dibunuh dan dikubur di hutan jati itu. "Benarkah yang dikubur itu orang 'jelek'? Benarkah orang-orang yang dibunuh itu bersalah? Pemerintah harus mengungkap kebenarannya," kata Supardi. Bersama organisasi Yayasan penelitian korban pembunuhan (YPKP) 1965/1966 cabang Pati, Supardi dan kawan-kawan sejak awal tahun 2000 telah melacak setidaknya ada delapan kuburan massal di wilayah Pati.

Komnas HAM turun ke Pati

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), ungkap Supardi, juga telah mendatangi lokasi kuburan massal tersebut sekitar tahun 2008. "Termasuk telah mendengarkan kesaksian Pak Radimin dan Pak Karmain, saksi lain yang ikut mengubur korban pembantaian di hutan Jeglong," jelas seniman mantan anggota Lekra -organisasi kesenian dibawah PKI. Komnas HAM memang telah melakukan penyelidikan kekerasan pasca 1965 yang menimpa orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan atau anggota PKI. Dalam kesimpulannya, mereka menyatakan ada pelanggaran HAM berat terhadap kasus-kasus kekerasan yang menimpa para simpatisan PKI.

Kepada Komnas HAM, YPKP Pati telah menuntut agar mereka mengungkap kebenaran di balik keberadaan kuburan massal di wilayah Pati tersebut. "Apabila sudah ditemukan kebenaran, harap kuburan itu dibongkar dan tulang-tulangnya di kembalikan ke masyarakat," tandas Supardi. Dalam wawancara khusus dengan BBC Indonesia, Ketua Komnas HAM Nur Kholis mengatakan pengungkapan kuburan massal merupakan salah-satu upaya pengungkapan kebenaran. "Tetapi untuk melakukan itu diperlukan konsensus nasional dulu, kalau tidak upaya-upaya itu hanya akan menimbulkan masalah baru," kata Nur Kholis.

Kebenaran tetap terkubur?

Dia kemudian merujuk pada sejumlah kasus penolakan sebagian anggota masyarakat terhadap aktivitas atau diskusi yang dikaitkan dengan latar peristiwa 1965. "Saat ini harus diakui, di lapangan, diskusi-diskusi itu (soal kekerasan pasca 1965) masih kadang-kadang dibubarkan," jelasnya. Di Blitar, 13 tahun silam, upaya penggalian Gua Tikus, tempat kuburan massal simpatisan PKI juga ditolak oleh Bupati Blitar, karena alasan "meresahkan masyarakat".

 
Sejumlah pegiat YPKP 1965 wilayah Pati melakukan penyelidikan di lokasi yang diyakini sebagai kuburan massal di kawasan Perhutani HPH Brati, Desa Brati, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati

Nur Kholis menganalisa, penolakan itu disebabkan adanya "distorsi informasi" yang berkembang masyarakat, bahwa seolah-seolah penyelidikan Komnas dalam kasus '65 itu akan berujung pada rehabilitasi PKI. "Ini tidak menyangkut dengan ideologi. Misalnya presiden harus menyatakan penyesalan kepada partai tertentu (PKI), tidak. Dalam konteks korban-korban anak bangsa itulah, Presiden menyatakan penyesalannya," tandas Nur Kholis. Pernyataan Nur Kholis itu, bagaimanapun, menyiratkan bahwa upaya pengungkapan kebenaran kasus kekerasan pasca 1965, termasuk pembongkaran kuburan massal, sepertinya bakal memakan waktu lama. Upaya pencarian kebenaran yang dilakukan Supardi dan kawan-kawan, tampaknya, masih akan terkubur lama di bawah hutan jati Jeglong yang sepi itu.