Dalam banyak hal, Karl Marx lebih dipersonifikasikan
sebagai tokoh ekonomi-politik serta pejuang kaum buruh. Selama ini,
kajian-kajian ilmiah hanya menyoroti teori “sejarah pertentangan kelas
antara kaum borjuis dan proletar” yang merupakan titik pijak pemikiran
Marx. Jarang kita menjumpai diskursus yang menyandingkan pemikiran Marx
dengan dunia pendidikan.
Padahal, sebagaimana diungkap dalam buku ”Metode
Pendidikan Marxis- Sosialis” ini, Karl Marx bukan hanya pemikir
ekonomi-politik, tapi juga seorang pemikir pendidikan kenamaan. Bahkan,
menurut Nurani Soyomukti, penulis karya ini, Marx adalah plopor dan
peletak teori pendidikan kritis dan pembebasan, bukan Paulo Freire
sebagaimana diyakini banyak kalangan.
Dalam konteks pendidikan, Marx meramalkan “basis dari
gerak sejarah sistem pendidikan dunia ditentukan oleh basis kapital
(ekonomi)”. Teori ini disebut dengan “diteminisme ekonomi”. Tampaknya,
ramalan Marx itu memiliki makna relevansi dalam dunia pendidikan,
khususnya di Indonesia. Buktinya, regulasi kebijakan pendidikan
pemerintah, dalam hal ini Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP),
tidak lain merupakan penjelmaan penselingkuhan antara dunia pendidikan
dengan kepentingan kapital. UU BHP membuka akses selebar-lebarnya atas
bercokolnya praktek kapitalisme (komersialisasi) ditubuh pendidikan.
Lembaga pendidikan saat ini sudah tidak lagi menjadi
media transformasi nilai dan instrumen memanusiakan manusia
(humanisasi), melainkan menjadi lahan basah bagi para pengelola
pendidikan untuk mengeruk keuntungan finansial sebanyak-sebanyaknya.
Status birokrat kampus, Rektor dan staf-stafnya, tidak ubahnya investor
yang hanya memikirkan bagaimana kampus mendapatkan laba sebesar-besar
dari peserta didik.
Institusi pendidikan hari ini tidak jauh beda dengan
pasar. Bedanya, kalau pasar menjual bahan sembako domistik dan kebutuhan
rumah tangga yang lain, sementara perguruan tinggi menjual jasa
pendidikan. Mulai dari tenaga pengajar (Dosen), mata kuliah (SKS),
sampai fasilitas-fasilitas kampus yang serba glamur dan seper canggih.
Kampus akan melakukan apa saja, termasuk memper-“solek” lingkungan demi
merekrut peserta didik sebanyak-banyaknya. Karena, semakin banyak
kuantitas peserta didik, semakin besar penghasilan kampus.
Dalam kondisi seperti ini, lembaga pendidikan
layaknya korporasi (konglemarasi) yang hanya memikirkan profit oriented.
Tidak heran, kalau makin hari biaya lembaga pendidikan kian melonjak.
Di era modern, mustahil menemukan biaya pendidikan yang bisa dijangkau
orang menengah kebawah (miskin). Semakin bagus fasilitas kampus, semakin
besar uang yang mesti dikeluarkan peserta didik. Padahal, mayoritas
penduduk Indonesia barada dibawah garis kemiskinan. Inilah yang disebut
“Pendidikan Rusak-Rusakan” dalam kacamata Darmaningtyas.
Secara historis, bibit kapiatalisme dan pragmatisme
pendidikan di Indonesia sudah menyeruak pada zaman Soeharto (Orde Baru).
Ketika itu, yang menjadi panglima (ideologi) pendidikan adalah
“pembangunan” (developmentalisme). Pertumbuhan pembangunan dikejar
habis-habisan tanpa memedulikan aspek kemanusiaan. Tak pelak, Identitas
lembaga pendidikan pun sebagai media memanusiakan manusia dan penjaga
gawang terakhir atas munculnya kaum-kaum terdidik dan bermoral
terpasung.
Munculnya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), baik yang
konsen di dunia mesin, listrik, arsitektur, administrasi perkantoran,
akuntansi, kesekretariatan dan berbagai bidang lainnya merupakan
pemenuhan atas nafsu kapitalisme dan pragmatisme itu. Kehadiran SMK
diharapakan meluluskan peserta didik yang siap pakai dan sesuai dengan
kebutuhan praktis di bidang kerja-kerja infrastruktur pembanguanan, baik
sebagai pekerja industri maupun administrator pemerintah.
Sekolah kejuruan nampaknya, menjadi idaman dan
pilihan para orang tua yang ingin yang ingin melihat anaknya cepat
mendapat kerja dan cepat kaya. Pendidikan yang menekankan pada
keterampilan teknis sperti ini tentu saja mempunyai efek besar terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana nilai-niali pengabdian
(loyalitas) terhadap bangsa dan kemanusiaan menempati posisi diatas
pragmatisme.
Pragmatisme pendidikan adalah malapetaka besar bagi
masa depan kemanusiaan. Jelas, kalau pola pikir pragmatisme menghinggapi
anak didik, bisa dipastikan anak didik tidak munkin lagi peka terhadap
bobroknya realitas kebangsaan, apalagi berjuang dan melakukan anvokasi
terhadap pemberdayaan kaum-kaum marjinal (tertindas). Sebaliknya, yang
ada dalam benak anak didik hanyalah bagaimana anak didik cepat
mendapatkan gelar sarjana dan memperoleh profesi yang bergengsi. Sebuah
ironi ditengan bobroknya realitas kebangsaan diberbagai level.
Buku ini berusaha menggagas dan menjabarkan metode
pendidikan berbasis Marxis-Sosialis yang menjadi counter part atas
pendidikan “kapitalisme” yang selama ini menjadi ideologi sistem
pendidikan internasional. Ideologi pendidikan yang digagas marx adalah
bentuk gugatan atas merasuknya budaya kapitalisme dan pragmatisme dalam
tubuh pendidikan. Hali ini bisa dipahami, karena Marx adalah
satu-satunya pemikir besar yang mengidealkan tumbangya budaya
kapitalisme dimuka bumi ini. Dalam kacamata pendidikan berbasis
Marxis-Sosialis, tujuan (ideologi) pendidikan adalah membangun karakter
(character building) manusia yang tercerahkan; suatu kondisi mental yang
dibutuhkan untuk membangun suatu masyarakat yang berkarakter progresif,
egaliter, demokratis, berkeadilan dan berpihak terhadap kaum-kaum
tertindas (the oppressed).
Menurut Marx, pendidikan bukan lahan basah untuk
merenggut keuntungan kapital (profit), melainkan sebagai instrumen
membebaskan manusia dari belenggu dehumanisasi serta menempatkan manusia
dalam esensi dan martabat kemanusiaanya yang sejati. Marx mengidealkan
terciptanya pendidikan kritis (critical pedagogy), pendidikan radikal
(radical education) dan pendidikan revolusioner (revolutionary
education) yang pada gilirannya mampu mencetak manusia yang betul-betul
mau memperjuangkan kaum-kaum miskin (proletar) yang nota bene korban
salah urus negara.
Bagi Marx, pendidikan bertujuan mencipatakan
kesadaran kritis, bukan pengetahuan dan keterampilan teknis yang
mendukung proyek kapitalisme. Pendidikan yang terjebak pada pragmatisme
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan praktis yang merupakan langka
adaptasi terhadap perkembangan kapitalisme merupakan eksploitasi atas
esensi terbentuknya lemabaga pendidikan.
Lebih dari itu, menurut pendidikan Marxis-sosialis,
tujuan preneal dari proses manusia menuntut ilmu adalah untuk mengabdi
bagi kemaslahatan kemanusian. “Ilmu tidak boleh menjadi kesenangan untuk
diri sendiri. Orang-orang yang memiliki nasib baik untuk terjun dalam
pencarian ilmu pertama-tama harus menempatkan pengetahuannya demi
kepentingan kemanusian” demikian fragmen statemen Marx dalam salah satu
karyanya.
Apa yang diidealkan Marx itu sangat kontras dengan
karakter objektif para pelajar bangsa ini. Tidak bisa dibantah, 75 %
orentasi pelajar menuntut ilmu adalah untuk mendapatkan kerja bergengsi
(profesi), menjadi tokoh populer, menjadi orang kaya, dan untuk
mengangkat status sosialnya di tengah-tengah masyarakat. Sedikit sekali
pelajar yang betul-betul murni untuk memperjuangkan nasib kaum
tertindas. Wajar, kalau keberadaan kaum terdidik di negara yang
mayoritas muslim ini sudah tidak lagi menjadi aktor pemberdayaan kaum
tertindas (the oppressed) dari belenggu penindasan dan ketidak adilan
(dehumanisasi). Sebaliknya, justru kaum terdidiklah yang menjadi biang
dari sekian problem sosial yang berlangsung ditengah-tengah kehidupan
berbangsa dan bernegara. Alih-alih mau mencari penawar atas sekian
krisis sosial, keberadaan kaum terdidik menjadi bagian dari krisis
sosial itu sendiri. Mulai dari koruptor, penjilat, politikus busuk,
sampai komprador atau agen dari kepentingan global.