Kamis, 28 April 2016

Malam jahanam di hutan jati Jeglong

Pada siang nan terik di awal pekan kedua September, di salah-satu sudut hamparan hutan jati yang meranggas di pinggiran Kota Pati, Jateng, pria ringkih itu terlihat tenang ketika tangannya menunjuk sebuah gundukan tanah. "Di sini, 10 orang dalam keadaan terikat, ditembak dari belakang, dan dimasukkan lubang." Radimin, pria ringkih berusia 80 tahun itu, mengungkapkan kejadian horor itu yang dia saksikan pada sebuah malam kira-kira 50 tahun silam. Dia kemudian melangkah beberapa meter ke arah timur, dan menunjuk sebuah gundukan tanah lainnya. Di dalamnya ada 15 jasad manusia, katanya.

Radimin menunjuk gundukan yang diyakini merupakan kuburan massal orang-orang yang dituduh anggota atau simpatisan PKI. Pria berusia 80 tahun ini merupakan saksi mata saat pembantaian 50 tahun silam.  

"15 orang lainnya (dipaksa) lari-lari dari mobil, (dipaksa) masuk lubang. (Dan) ditembak di dalam lubang," ujarnya, datar. Gundukan tanah, yang di atasnya tumbuh ilalang kering, adalah kuburan massal 25 orang yang dituduh simpatisan atau anggota Partai Komunis Indonesia, PKI - atau orang-orang yang cuma dikait-kaitkan.Dari 10 lubang yang digali, 25 orang itu dikubur dalam tiga lubang terpisah. Tiga lubang lainnya dibiarkan menganga hingga sekarang, dan empat lubang lainnya ditanami pohon pisang oleh warga.

'Saya dipaksa melihat dari dekat'

Ketika saya datangi, lokasi pembantaian yang terletak di hutan Jeglong, milik Perhutani, Desa Mantup, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, terlihat agak senyap. Hanya terdengar suara nyaring Radimin dan suara gesekan sepatu dan rumput kering, serta sayup-sayup kicau burung di kejauhan. Tapi di malam jahanam pada Desember 1965 lalu, Radimin dipaksa menyaksikan tindakan brutal -yang barangkali sulit dia lupakan seumur hidupnya. Para pelaku pembantaian, menurutnya, adalah orang-orang dari "Pemuda Garuda Pancasila" yang disebutnya menggunakan senjata milik aparat kepolisian dan tentara.


"Saya dipaksa melihat dari dekat, nggak boleh jauh-jauh," ungkap petani yang tinggal di desa tidak jauh dari lokasi pembantaian. Dari percakapan diantara para pelaku pembantaian, dia mendengar bahwa orang-orang naas itu -yang ditutup matanya- dianggap anggota atau simpatisan PKI. "Orang-orang itu dicap jahat, PKI, pengkhianat, pokoke (pokoknya) dianggap mau menjatuhkan pemerintahan," tambahnya kepada saya, sesekali dengan menggunakan bahasa Jawa.

Mengenali satu korban

Tidak diketahui siapa-siapa yang jasadnya terkubur di hutan jati itu, tetapi salah-seorang korbannya diketahui oleh Radimin sebagai kenalannya. "Orang itu bernama Jaiz. Radimin mengenalinya, karena secara tak sengaja penutup mata korban terbuka, ketika dia terjatuh setelah berupaya lari," kata Radimin, seperti ditirukan Supardi, eks tahanan politik Pulau Buru, salah-satu orang pertama yang mengungkap kuburan massal "Jeglong".

 
 Supardi, eks tapol pulau Buru, menuntut pemerintah membongkar kuburan massal korban '65. "Benarkah yang dikubur itu orang 'jelek'? Benarkah orang-orang yang dibunuh itu bersalah?"

Supardi, 75 tahun, juga mengaku mengenali sosok Jaiz yang disebutnya calon relawan yang hendak dikirim ke Kalimantan saat Indonesia terlibat konfrontasi dengan Malaysia pada 1964. Lainnya? Supardi mengangkat bahu. Tidak tahu. "Semua itu rahasia, tertutup. Mereka belum pasti dari Pati. Mereka biasanya diambil malam hari. Istilahnya dibon," ungkapnya. Menurutnya, pemerintah yang wajib mengungkap siapa yang dibunuh dan dikubur di hutan jati itu. "Benarkah yang dikubur itu orang 'jelek'? Benarkah orang-orang yang dibunuh itu bersalah? Pemerintah harus mengungkap kebenarannya," kata Supardi. Bersama organisasi Yayasan penelitian korban pembunuhan (YPKP) 1965/1966 cabang Pati, Supardi dan kawan-kawan sejak awal tahun 2000 telah melacak setidaknya ada delapan kuburan massal di wilayah Pati.

Komnas HAM turun ke Pati

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), ungkap Supardi, juga telah mendatangi lokasi kuburan massal tersebut sekitar tahun 2008. "Termasuk telah mendengarkan kesaksian Pak Radimin dan Pak Karmain, saksi lain yang ikut mengubur korban pembantaian di hutan Jeglong," jelas seniman mantan anggota Lekra -organisasi kesenian dibawah PKI. Komnas HAM memang telah melakukan penyelidikan kekerasan pasca 1965 yang menimpa orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan atau anggota PKI. Dalam kesimpulannya, mereka menyatakan ada pelanggaran HAM berat terhadap kasus-kasus kekerasan yang menimpa para simpatisan PKI.

Kepada Komnas HAM, YPKP Pati telah menuntut agar mereka mengungkap kebenaran di balik keberadaan kuburan massal di wilayah Pati tersebut. "Apabila sudah ditemukan kebenaran, harap kuburan itu dibongkar dan tulang-tulangnya di kembalikan ke masyarakat," tandas Supardi. Dalam wawancara khusus dengan BBC Indonesia, Ketua Komnas HAM Nur Kholis mengatakan pengungkapan kuburan massal merupakan salah-satu upaya pengungkapan kebenaran. "Tetapi untuk melakukan itu diperlukan konsensus nasional dulu, kalau tidak upaya-upaya itu hanya akan menimbulkan masalah baru," kata Nur Kholis.

Kebenaran tetap terkubur?

Dia kemudian merujuk pada sejumlah kasus penolakan sebagian anggota masyarakat terhadap aktivitas atau diskusi yang dikaitkan dengan latar peristiwa 1965. "Saat ini harus diakui, di lapangan, diskusi-diskusi itu (soal kekerasan pasca 1965) masih kadang-kadang dibubarkan," jelasnya. Di Blitar, 13 tahun silam, upaya penggalian Gua Tikus, tempat kuburan massal simpatisan PKI juga ditolak oleh Bupati Blitar, karena alasan "meresahkan masyarakat".

 
Sejumlah pegiat YPKP 1965 wilayah Pati melakukan penyelidikan di lokasi yang diyakini sebagai kuburan massal di kawasan Perhutani HPH Brati, Desa Brati, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati

Nur Kholis menganalisa, penolakan itu disebabkan adanya "distorsi informasi" yang berkembang masyarakat, bahwa seolah-seolah penyelidikan Komnas dalam kasus '65 itu akan berujung pada rehabilitasi PKI. "Ini tidak menyangkut dengan ideologi. Misalnya presiden harus menyatakan penyesalan kepada partai tertentu (PKI), tidak. Dalam konteks korban-korban anak bangsa itulah, Presiden menyatakan penyesalannya," tandas Nur Kholis. Pernyataan Nur Kholis itu, bagaimanapun, menyiratkan bahwa upaya pengungkapan kebenaran kasus kekerasan pasca 1965, termasuk pembongkaran kuburan massal, sepertinya bakal memakan waktu lama. Upaya pencarian kebenaran yang dilakukan Supardi dan kawan-kawan, tampaknya, masih akan terkubur lama di bawah hutan jati Jeglong yang sepi itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar