Pada siang nan terik di awal pekan
kedua September, di salah-satu sudut hamparan hutan jati yang meranggas
di pinggiran Kota Pati, Jateng, pria ringkih itu terlihat tenang ketika
tangannya menunjuk sebuah gundukan tanah. "Di sini, 10 orang dalam keadaan terikat, ditembak dari belakang, dan dimasukkan lubang." Radimin,
pria ringkih berusia 80 tahun itu, mengungkapkan kejadian horor itu
yang dia saksikan pada sebuah malam kira-kira 50 tahun silam. Dia
kemudian melangkah beberapa meter ke arah timur, dan menunjuk sebuah
gundukan tanah lainnya. Di dalamnya ada 15 jasad manusia, katanya.
"15 orang lainnya (dipaksa) lari-lari dari mobil, (dipaksa) masuk lubang. (Dan) ditembak di dalam lubang," ujarnya, datar. Gundukan tanah, yang di atasnya tumbuh
ilalang kering, adalah kuburan massal 25 orang yang dituduh simpatisan
atau anggota Partai Komunis Indonesia, PKI - atau orang-orang yang cuma
dikait-kaitkan.Dari 10 lubang yang digali, 25 orang itu dikubur
dalam tiga lubang terpisah. Tiga lubang lainnya dibiarkan menganga
hingga sekarang, dan empat lubang lainnya ditanami pohon pisang oleh
warga.
'Saya dipaksa melihat dari dekat'
Ketika
saya datangi, lokasi pembantaian yang terletak di hutan Jeglong, milik
Perhutani, Desa Mantup, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, terlihat agak
senyap. Hanya terdengar suara nyaring Radimin dan suara gesekan sepatu dan rumput kering, serta sayup-sayup kicau burung di kejauhan. Tapi
di malam jahanam pada Desember 1965 lalu, Radimin dipaksa menyaksikan
tindakan brutal -yang barangkali sulit dia lupakan seumur hidupnya. Para pelaku pembantaian, menurutnya, adalah orang-orang dari "Pemuda
Garuda Pancasila" yang disebutnya menggunakan senjata milik aparat
kepolisian dan tentara.
"Saya dipaksa melihat dari dekat, nggak
boleh jauh-jauh," ungkap petani yang tinggal di desa tidak jauh dari
lokasi pembantaian. Dari percakapan diantara para pelaku
pembantaian, dia mendengar bahwa orang-orang naas itu -yang ditutup
matanya- dianggap anggota atau simpatisan PKI. "Orang-orang itu dicap jahat, PKI, pengkhianat, pokoke (pokoknya) dianggap mau menjatuhkan pemerintahan," tambahnya kepada saya, sesekali dengan menggunakan bahasa Jawa.
Mengenali satu korban
Tidak
diketahui siapa-siapa yang jasadnya terkubur di hutan jati itu, tetapi
salah-seorang korbannya diketahui oleh Radimin sebagai kenalannya. "Orang
itu bernama Jaiz. Radimin mengenalinya, karena secara tak sengaja
penutup mata korban terbuka, ketika dia terjatuh setelah berupaya lari,"
kata Radimin, seperti ditirukan Supardi, eks tahanan politik Pulau
Buru, salah-satu orang pertama yang mengungkap kuburan massal "Jeglong".
Supardi, 75 tahun, juga mengaku mengenali sosok Jaiz yang disebutnya
calon relawan yang hendak dikirim ke Kalimantan saat Indonesia terlibat
konfrontasi dengan Malaysia pada 1964. Lainnya? Supardi
mengangkat bahu. Tidak tahu. "Semua itu rahasia, tertutup. Mereka belum
pasti dari Pati. Mereka biasanya diambil malam hari. Istilahnya dibon," ungkapnya. Menurutnya, pemerintah yang wajib mengungkap siapa yang dibunuh dan dikubur di hutan jati itu. "Benarkah yang dikubur itu orang 'jelek'?
Benarkah orang-orang yang dibunuh itu bersalah? Pemerintah harus
mengungkap kebenarannya," kata Supardi. Bersama organisasi
Yayasan penelitian korban pembunuhan (YPKP) 1965/1966 cabang Pati,
Supardi dan kawan-kawan sejak awal tahun 2000 telah melacak setidaknya
ada delapan kuburan massal di wilayah Pati.
Komnas HAM turun ke Pati
Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), ungkap Supardi, juga telah
mendatangi lokasi kuburan massal tersebut sekitar tahun 2008. "Termasuk
telah mendengarkan kesaksian Pak Radimin dan Pak Karmain, saksi lain
yang ikut mengubur korban pembantaian di hutan Jeglong," jelas seniman
mantan anggota Lekra -organisasi kesenian dibawah PKI. Komnas HAM memang telah melakukan penyelidikan kekerasan pasca 1965
yang menimpa orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan atau anggota
PKI. Dalam kesimpulannya, mereka menyatakan ada pelanggaran HAM
berat terhadap kasus-kasus kekerasan yang menimpa para simpatisan PKI.
Kepada Komnas HAM, YPKP Pati telah
menuntut agar mereka mengungkap kebenaran di balik keberadaan kuburan
massal di wilayah Pati tersebut. "Apabila sudah ditemukan
kebenaran, harap kuburan itu dibongkar dan tulang-tulangnya di
kembalikan ke masyarakat," tandas Supardi. Dalam wawancara khusus
dengan BBC Indonesia, Ketua Komnas HAM Nur Kholis mengatakan
pengungkapan kuburan massal merupakan salah-satu upaya pengungkapan
kebenaran. "Tetapi untuk melakukan itu diperlukan konsensus
nasional dulu, kalau tidak upaya-upaya itu hanya akan menimbulkan
masalah baru," kata Nur Kholis.
Kebenaran tetap terkubur?
Dia
kemudian merujuk pada sejumlah kasus penolakan sebagian anggota
masyarakat terhadap aktivitas atau diskusi yang dikaitkan dengan latar
peristiwa 1965. "Saat ini harus diakui, di lapangan, diskusi-diskusi itu (soal kekerasan pasca 1965) masih kadang-kadang dibubarkan," jelasnya. Di
Blitar, 13 tahun silam, upaya penggalian Gua Tikus, tempat kuburan
massal simpatisan PKI juga ditolak oleh Bupati Blitar, karena alasan
"meresahkan masyarakat".
Nur Kholis menganalisa, penolakan itu disebabkan adanya "distorsi
informasi" yang berkembang masyarakat, bahwa seolah-seolah penyelidikan
Komnas dalam kasus '65 itu akan berujung pada rehabilitasi PKI. "Ini
tidak menyangkut dengan ideologi. Misalnya presiden harus menyatakan
penyesalan kepada partai tertentu (PKI), tidak. Dalam konteks
korban-korban anak bangsa itulah, Presiden menyatakan penyesalannya,"
tandas Nur Kholis. Pernyataan Nur Kholis itu, bagaimanapun,
menyiratkan bahwa upaya pengungkapan kebenaran kasus kekerasan pasca
1965, termasuk pembongkaran kuburan massal, sepertinya bakal memakan
waktu lama. Upaya pencarian kebenaran yang dilakukan Supardi dan
kawan-kawan, tampaknya, masih akan terkubur lama di bawah hutan jati
Jeglong yang sepi itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar