Ratusan warga Indonesia terpaksa
hidup “mengembara” dari satu negara ke negara lain setelah paspor mereka
dicabut menyusul Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Tidak ada
angka yang jelas berapa jumlah warga Indonesia yang tidak bisa kembali.
Namun pada awal 1960an, ribuan orang dikirim ke luar negeri oleh
Presiden Soekarno saat itu untuk melanjutkan pendidikan, sebagai utusan
Indonesia dalam organisasi ataupun sebagai diplomat, menurut sejarawan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI, Asvi Warman Adam. Asvi
mengatakan banyak di antara warga Indonesia ini yang “mengembara” dari
satu negara ke negara lain setelah paspor mereka dicabut karena
“dibayangi ketakutan bahwa mereka akan dipulangkan dan di Indonesia akan
ditangkap.”
Sejarawan Bonnie Triyana menyebut mereka sebagai
“eksil-eksil yang dibui tanpa jeruji karena sama seperti korban di
Indonesia, tak bisa melakukan sesuatu sebebas manusia lainnya.” “Berdasarkan
riset saya yang terjadi pada 1965-1966 dan juga 1969, urusan ideologi
tak lagi relevan, siapapun yang dianggap bahaya bagi kemunculan Orde
Baru dihabisin, apakah dia nasionalis, komunis ataupun kalangan agama,” kata Bonnie, Pemimpin Redaksi Majalah Historia. Inilah pengalaman sejumlah di antara mereka – yang berusia 70an dan 80an dan saat ini tinggal di Belanda.
Ibrahim Isa, ‘Sakitnya dicabut identitas’
“Yang pertama itu adalah penderitaan dari segi harga diri. Ketika
paspor saya dicabut dan identitas saya dicabut, seolah nyawa saya
sendiri yang dicabut. Sakit sekali.” “Sejak umur 15 tahun saya
terlibat dalam Badan Keamanan Rakyat yang kemudian menjadi Tentara
Rakyat. Saya ikut berjuang (melawan penjajahan Belanda). Hidup saya
untuk Indonesia. Saya juga pernah jadi guru untuk mendidik, tetapi
mengapa sampai begini?” “Namun kami tak boleh tinggal pada
penderitaan. Saya dan banyak teman saya tak ada perasaan balas dendam.
Kami sepenuhnya realis. Yang penting bersama-sama menghadapi. Sejak
jatuhnya Suharto, ada kemajuan (dari sisi penegakan hak asasi manusia).
Saya punya keyakinan, kemajuan akan terus terjadi.” Ibrahim Isa
bertugas mewakili Indonesia pada akhir 1960 dalam Organisasi
Kesetiakawanan Asia Afrika yang berkantor di Kairo, Mesir, bersama
perwakilan dari delapan negara lain.
Isa sempat kembali ke Jakarta dua minggu setelah Peristiwa G30
September meletus untuk menghadiri Konferensi Anti Pangkalan Militer
Asing pada 17 Oktober 1965. Paspornya dicabut setelah mengikuti Konferensi Trikontinental Asia Afika dan Amerika Latin pada 1966. “Dari
Indonesia tak ada yang datang, karena ada perubahan besar dan kami
diminta datang (oleh Organisasi Konperensi Kesetiawakanan Asia Afrika)
bersama beberapa teman Tiba-tiba ada orang Indonesia yang datang dan
saya katakan kepada panitia bahwa yang datang adalah militer.” “Ini membuat Jakarta marah, Ibrahim Isa disebut Gestapu dan pengkhianat bangsa.” Dari
Kuba, Isa mendapatkan tawaran untuk bekerja di lembaga riset Asia
Afrika di Beijing, Cina dan tinggal di sana selama 20 tahun sampai 1986
sebelum akhirnya menetap di Belanda.
Chalik Hamid, ‘Kuburan kami ada di mana-mana’
Chalik berada di Tirana, Albania, untuk mempelajari kesusasteraan negara itu saat terjadi Peristiwa 30 September 1965. “Kami
tak tahu peristiwa itu. Di Albania sedikit sekali informasi dari luar
baik dari radio dan koran sangat terbatas.” kata Chalik yang pernah
menjadi anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia dan ketua Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan sayap kiri di Medan.
“Waktu itu kami 10 orang Indonesia dan rombongan kedua 15 orang…Semua paspor kami dicabut oleh petugas KBRI yang datang dari Cekoslowakia (waktu itu) karena kedutaan Indonesia di Albania dirangkap di sana.” “Selama 25 tahun kami tinggal di Albania. Kami tidak punya paspor dan hanya dikasih izin tinggal. Di Tirana pun kami tidak boleh meninggalkan kota sejauh 50 kilometer. Jadi kami tak pernah keluar dari Albania selama 25 tahun.” “Saya bekerja sebagai penerjemah di Radio Tirana bahasa Indonesia dan selain radio saya harus kerja di pabrik besi yang produksi alat traktor.” “(Selama di Albania), saya tak melihat ibu saya meninggal, kemudian ayah saya dan abang saya. Bukan hanya itu, saya dengar abang saya dicincang dan setelah dikubur karena mereka belum yakin (identitasnya), kemudian digali lagi dan ditinggalkan begitu saja tanpa dikubur lagi. Itu menjadi pikiran saya. Tapi mau bagaimana lagi.”
“Saya banyak menulis puisi yang saya tulis pada dasarnya menentang rezim Orde Baru, di antaranya berjudul Kuburan Kami ada Di mana-mana.” “Kuburan kami ada di mana-mana, kuburan kami berserakan di mana-mana, di berbagai negeri, berbagai benua. Kami adalah orang orang Indonesia yang dicampakkan dari Indonesia, paspor kami dirampas sang penguasa, tak boleh pulang ke halaman tercinta. Kami terus didiskriminasi dan dicampakkan,” Chalik menyampaikan salah satu puisi yang ia tulis. Saat terjadi kekacauan di Eropa Timur pada awal 1990an, Chalik pindah ke Belanda dan menetap di sana sampai sekarang.
“Waktu itu kami 10 orang Indonesia dan rombongan kedua 15 orang…Semua paspor kami dicabut oleh petugas KBRI yang datang dari Cekoslowakia (waktu itu) karena kedutaan Indonesia di Albania dirangkap di sana.” “Selama 25 tahun kami tinggal di Albania. Kami tidak punya paspor dan hanya dikasih izin tinggal. Di Tirana pun kami tidak boleh meninggalkan kota sejauh 50 kilometer. Jadi kami tak pernah keluar dari Albania selama 25 tahun.” “Saya bekerja sebagai penerjemah di Radio Tirana bahasa Indonesia dan selain radio saya harus kerja di pabrik besi yang produksi alat traktor.” “(Selama di Albania), saya tak melihat ibu saya meninggal, kemudian ayah saya dan abang saya. Bukan hanya itu, saya dengar abang saya dicincang dan setelah dikubur karena mereka belum yakin (identitasnya), kemudian digali lagi dan ditinggalkan begitu saja tanpa dikubur lagi. Itu menjadi pikiran saya. Tapi mau bagaimana lagi.”
“Saya banyak menulis puisi yang saya tulis pada dasarnya menentang rezim Orde Baru, di antaranya berjudul Kuburan Kami ada Di mana-mana.” “Kuburan kami ada di mana-mana, kuburan kami berserakan di mana-mana, di berbagai negeri, berbagai benua. Kami adalah orang orang Indonesia yang dicampakkan dari Indonesia, paspor kami dirampas sang penguasa, tak boleh pulang ke halaman tercinta. Kami terus didiskriminasi dan dicampakkan,” Chalik menyampaikan salah satu puisi yang ia tulis. Saat terjadi kekacauan di Eropa Timur pada awal 1990an, Chalik pindah ke Belanda dan menetap di sana sampai sekarang.
Sungkono: Dari Moskow, menjajaki ‘pulang’ lewat Cina, Vietnam dan Thailand
“Pada September 1965 saya berada di Moskow sedang belajar teknik
mesin dan dikirim oleh Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan
sejak tahun 1962.” “Pada 1966, kedutaan Indonesia di Moskow mengumpulkan mahasiswa Indonesia untuk di-screening
dengan berbagai pertanyaan antara lain bagaimana sikap kami terhadap
Peristiwa 1965. Saya jawab saya tidak tahu menahu karena saya di luar
negeri.” “Pada Juni 1966, mulai ada jawaban terhadap mahasiswa yang discreening. Yang dicabut paspornya secara kolektif, dibilang disangsikan kesetiaannya terhadap pemerintah Indonesia.” “(Walau
paspor dicabut), Saya tetap belajar sampai tamat. Pemerintah Uni Soviet
saat itu memberi kesempatan sampai selesai tahun 1967, dan sempat
ditawarkan untuk bekerja dan tinggal di sana.”
“Setelah lulus, keinginan kontak keluarga semakin mendalam. Kami berusaha ke Asia dan memilih Tiongkok…Saya kemudian pernah ke Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand untuk menjajaki pulang. Tapi tak berhasil.” “Akhirnya tahun 1981 meninggalkan Tiongkok ke Belanda (sampai sekarang), dan pada 1987, kami mendirikan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia untuk memelihara hubungan kekeluargaan kami yang berada di luar negeri, khususnya di Belanda.”
“Setelah lulus, keinginan kontak keluarga semakin mendalam. Kami berusaha ke Asia dan memilih Tiongkok…Saya kemudian pernah ke Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand untuk menjajaki pulang. Tapi tak berhasil.” “Akhirnya tahun 1981 meninggalkan Tiongkok ke Belanda (sampai sekarang), dan pada 1987, kami mendirikan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia untuk memelihara hubungan kekeluargaan kami yang berada di luar negeri, khususnya di Belanda.”
Sarmadji, “mengubah kesedihan menjadi kekuatan”
“Saat terjadi Peristiwa 1965, saya tengah sekolah di Tiongkok dan saya tidak tahu menahu apa yang terjadi.”Sarmadji
mengumpulkan sekitar 3.000 buku, sebagian besar tentang apa yang
terjadi pada 1965 dan 1966 dan membuka perpustakaan di rumahnya yang
dibuka untuk umum. “Perpustakaan ini adalah monumen peringatan bagi mereka yang dicabut
paspornya secara paksa dan meninggal di luar negeri. Jumlahnya yang
sudah meninggal sekitar 130 orang dari Tiongkok sampai Eropa Barat.” “Saya
mengumpulkan (buku-buku) ini untuk mengubah kesedihan menjadi kekuatan.
Berangsur-angsur kekuatan saya bertambah dan kesedihan saya berkurang,”
kata Sarmadji.
Pengakuan apa yang terjadi
Baik
Isa, Sungkono, Chalik dan Sarmadji berharap salah satu hal yang akan
dilakukan pemerintah adalah pengakuan atas apa yang terjadi pada 1965
dan 1966. “Yang pertama akui apa yang terjadi, seperti yang sudah
diakui oleh Komnas, dan yang penting juga adalah rehabilitasi nama baik
dan hak hak politik dari warga negara yang direnggut hak-haknya,” kata
Isa. Pada 2012 lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan terjadi pelanggaran HAM berat pada 1965-1966. “Sebagai
utang sejarah masa lalu negeri ini, penyelesaian (pelanggaran HAM
berat) dapat ditempuh melalui mekanisme rekonsiliasi,” kata Profesor
Hafid Abbas, anggota Komnas HAM.
“Idealnya mekanisme penyelesaian kasus semestinya diatur dalam suatu undang-undang. Sayang sekali UU KKR telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006. Masih belum terlambat pada periode kabinet Presiden Joko Widodo, rekonsiliasi diselesaikan dengan menyiapkan UU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) yang memerlukan dukungan politik presiden,” kata Hafid kepada BBC Indonesia. Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, yang menyebut para eksil sebagai “orang-orang Indonesia yang teraniaya”, mengatakan kasus masa lalu ini harus dipilah-pilah karena menyangkut berbagai hal.
“Idealnya mekanisme penyelesaian kasus semestinya diatur dalam suatu undang-undang. Sayang sekali UU KKR telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006. Masih belum terlambat pada periode kabinet Presiden Joko Widodo, rekonsiliasi diselesaikan dengan menyiapkan UU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) yang memerlukan dukungan politik presiden,” kata Hafid kepada BBC Indonesia. Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, yang menyebut para eksil sebagai “orang-orang Indonesia yang teraniaya”, mengatakan kasus masa lalu ini harus dipilah-pilah karena menyangkut berbagai hal.
“Misalnya untuk para
eksil adalah soal pencabutan paspor, yang perlu dijadikan satu kasus,
dan kemudian kasus lain seperti diskriminasi anak korban yang tak