Senin, 21 November 2016
Kamis, 29 September 2016
Senin, 11 Juli 2016
SEBUAH PELAJARAN DARI JERMAN PASKA PERANG DUNIA I
SEBUAH PELAJARAN DARI JERMAN
PASKA PERANG DUNIA I
“Kami tidak cukup bodoh untuk mencoba menciptakan sebuah mata uang yang dibacking oleh emas, yang memang tidak kami miliki lagi, tetapi setiap Mark yang akan kami cetak akan dibacking oleh pekerjaan dan barang yang nilainya setara… kami tertawa saat ahli finansial nasional memandang bahwa nilai dari sebuah mata uang adalah tergantung kepada emas dan sekuritas lain yang berada di ruangan besi bank.
- Adolf Hitler -
Paska perang dunia I di Jerman, saat Hitler sedang berkuasa, negara itu sedang dalam kebangkrutan total. Perjanjian Versailles mewajibkan Jerman untuk membayar semua biaya reparasi perang, nilainya setara dengan tiga kali lipat nilai semua properti negaranya. Spekulasi terhadap mata uang Mark menyebabkan mata uang ini hancur, dan membawa Jerman menuju era hiperinflasi saat itu. Di puncak kejatuhannya, sebuah gerobak yang membawa 100 milyar Mark bahkan tidak bisa membeli sepotong roti. Tabungan negara sudah kosong, dan sejumlah besar rumah dan sawah diambil alih oleh bankir dan spekulator. Rakyat hidup dalam kesulitan dan kelaparan. Hal seperti itu belum pernah dialami mereka sebelumnya… Jerman akhirnya tidak memiliki pilihan selain meminjam uang dan menjadi budak dari bankir internasional.
Hitler dan para Sosialis Nasionalis, yang mulai berkuasa sejak 1933, kemudian melompati para bankir dan mulai menerbitkan mata uang mereka sendiri. Mereka belajar dari Abraham Lincoln yang menerbitkan “greenbacks.” Hitler mulai menyusun program kredit dengan merancang berbagai pekerjaan umum. Proyek-proyek utamanya adalah pengendalian banjir, perbaikan bangunan publik dan perumahan umum, konstruksi bangunan baru, jalan raya, jembatan, kanal, dan pelabuhan. Nilai dari proyek-proyek ini ditentukan untuk bernilai 1 milyar unit mata uang baru, yang mereka namai Labor Treasury Certificate.
Jutaan orang dipekerjakan untuk mengerjakan proyek-proyek ini, dan mereka akan mendapatkan bayaran dalam bentuk sertifikat ini. Uang ini tidak dibacking oleh emas, melainkan oleh sesuatu yang memiliki nilai, yaitu tenaga kerja dan material yang diberikan kepada pemerintah. Hitler berkata, “Untuk setiap Mark yang kami cetak kami mewajibkan pekerjaan ataupun barang produksi dengan nilai yang setara.” Para pekerja kemudian dapat menggunakan sertifikat ini untuk membeli dan membayar berbagai barang dan jasa, dan mulai menciptakan pekerjaan untuk lebih banyak orang.
Dalam waktu 2 tahun, masalah pengangguran teratasi dan negara ini kembali berdiri di atas kaki sendiri. Mereka memiliki sebuah mata uang yang stabil, kuat, tanpa hutang, dan tanpa inflasi, padahal pada saat yang bersamaan jutaan orang di Amerika dan negara-negara Barat lainnya masih tetap menganggur dan hidup dari bantuan pemerintah. Jerman bahkan sanggup memulai perdagangan dengan luar negeri, sekalipun dia tidak diberikan kredit dan harus menghadapi boikot perekonomian dari luar. Mereka melakukannya dengan sistem barter: mesin-mesin dan komoditi ditukar langsung dengan negara lain, tanpa melalui bankir internasional. Sistem pertukaran langsung ini bisa dilakukan tanpa perlu berhutang dan tanpa defisit perdagangan. Eksperimen ekonomi Jerman ini tidak berlansung lama, sama seperti yang terjadi pada Lincoln, tetapi berhasil meninggalkan sejumlah peninggalan atas kesuksesannya, salah satunya adalah Autobahn, superhighway ekstensif pertama di dunia.
Hjalmar Schacht, yang saat itu adalah kepala bank sentral Jerman, memiliki sebuah kutipan menarik tentang greenbacks versi Jerman ini. Seorang bankir Amerika berkata kepadanya, “Dr. Schacht, kamu seharusnya datang ke Amerika. Kami punya banyak uang dan itulah perbankan yang sebenarnya.” Schacht membalas, “Kamu seharusnya datang ke Jerman. Kami tidak punya uang dan itu baru perbankan yang sebenarnya.”
Walaupun Hitler dihujat dalam berbagai buku sejarah, tetapi dia sebenarnya sangat populer di Jerman, setidaknya pada masa-masa tertentu. Ini terjadi karena selama periode tertentu, Hitler berhasil menyelamatkan Jerman dari teori ekonomi Inggris, bahwa uang harus dipinjam dalam bentuk emas kepada para kartel bankir dan bukannya bisa dicetak langsung oleh pemerintah. Sebenarnya inilah sebabnya kekuasaan Hitler harus dihentikan, dia melompati bankir internasional dan menciptakan mata uang dia sendiri.
Sebelumnya Hitler dibiayai oleh para bankir untuk melawan Soviet yang dipimpin Stalin. Tetapi kemudian Hitler menjadi ancaman yang bahkan lebih besar dibanding Stalin karena dia mencoba mencetak uangnya sendiri, sebuah hak istimewa yang dimonopoli oleh bankir.
Dalam bukunya, “Billions for the Bankers, Debts for the People (1984), Sheldon Emry menulis,
Jerman menerbitkan uang bebas hutang mereka mulai 1935, mereka kemudian bangkit dari depresi dan menjadi kekuatan besar dunia hanya dalam waktu 5 tahun. Jerman membiayai pemerintahan dan semua operasional perang mereka dari 1935 sampai 1945 tanpa emas dan tanpa hutang, dan memerlukan gabungan semua kekuatan kapitalis dan komunisme untuk bisa menghancurkan Jerman dan mengembalikan Eropa kembali ke genggaman para bankir. Bagian sejarah uang ini tidak pernah muncul dalam pelajaran uang di buku-buku dan kurikulum sekolah zaman ini.
MENGENAI HIPERINFLASI WEIMAR
Banyak buku yang menceritakan tentang inflasi gila-gilaan 1923 yang dialami Republik Weimar (panggilan untuk Jerman saat itu). Devaluasi radikal dari mata uang Mark dikatakan adalah kesalahan dari pemerintah yang mencetak terlalu banyak uang. Namun kenyataannya tidaklah seperti itu. Krisis finansial Weimar dimulai dari nilai reparasi mustahil yang dipaksakan dalam Perjanjian Versailles. Schacht, yang saat itu adalah komisioner mata uang berkata,
“Perjanjian Versailles adalah sebuah model untuk menghancurkan perekonomian Jerman… Kami tidak mungkin sanggup membayar kecuali dengan mencetak uang besar-besaran.”
Itu yang dia katakan saat itu. Tetapi dalam bukunya tahun 1967 “The Magic of Money,” Schacht mengungkapkan bahwa sebenarnya yang memompa begitu banyak uang baru ke perekonomian Jerman saat itu bukanlah pemerintah, melainkan sebuah bank swasta, Reichsbank.
Sama seperti Federal Reserve Amerika, kebanyakan orang mengira Reichsbank adalah bank pemerintah, tetapi dia sebenarnya adalah bank swasta yang dioperasikan untuk mencari kepentingan pribadi. Yang mendorong masa inflasi dalam peperangan menjadi masa hiperinflasi adalah spekulasi dari investor luar negeri, yang menjual mata uang Mark, bertaruh bahwa nilainya akan jatuh. Dalam sebuah manipulasi yang disebut shortselling, spekulator menjual sesuatu yang sebenarnya tidak mereka miliki, untuk dibeli kembali saat harga jatuh. Spekulasi terhadap Mark bisa dilakukan karena Reichsbank menyediakan mata uang ini dalam jumlah sangat besar untuk dipinjamkan kepada orang-orang yang mau meminjam, tentu saja dengan mengenakan bunga.
Menurut Schacht, pemerintah Weimar bukan hanya tidak menyebabkan hiperinflasi, tetapi merekalah yang akhirnya berhasil mengendalikan hiperinflasi tersebut. Pemerintah membuat batasan yang ketat terhadap Reichsbank, dan menghalangi dia untuk meningkatkan spekulasi oleh luar negeri dengan menghapuskan akses terhadap pinjaman bank. Hitler kemudian membawa Jerman bangkit kembali dengan menerbitkan Labor Treasury Certificate, sejenis greenbacks versi Amerika.
Schacht mengakui di buku riwayat hidupnya bahwa mengizinkan pemerintah untuk menerbitkan uang sebenarnya tidak serta-merta akan menciptakan inflasi seperti yang ditulis teori ekonomi klasik. Ketika suplai uang bertambah setara dengan pertambahan barang dan jasa, inflasi tidak akan terjadi dan harga barang pun tidak akan naik.
Minggu, 10 Juli 2016
CARA KAPITALISME MENGUASI DUNIA
Sistem ekonomi kapitalisme telah mengajarkan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya akan terwujud jika semua pelaku ekonomi terfokus pada akumulasi kapital (modal).
Mereka lalu menciptakan sebuah mesin “penyedot uang” yang dikenal dengan lembaga perbankan. Oleh lembaga ini, sisa-sisa uang di sektor rumah tangga yang tidak digunakan untuk konsumsi akan “disedot”.
Lalu siapakah yang akan memanfaatkan uang di bank tersebut? Tentu mereka yang mampu memenuhi ketentuan pinjaman (kredit) dari bank, yaitu: fix return dan agunan. Konsekuensinya, hanya pengusaha besar dan sehat sajalah yang akan mampu memenuhi ketentuan ini. Siapakah mereka itu? Mereka itu tidak lain adalah kaum kapitalis, yang sudah mempunyai perusahaan yang besar, untuk menjadi lebih besar lagi.
Nah, apakah adanya lembaga perbankan ini sudah cukup? Bagi kaum kapitalis tentu tidak ada kata cukup. Mereka ingin terus membesar. Dengan cara apa?
Yaitu dengan pasar modal. Dengan pasar ini, para pengusaha cukup mencetak kertas-kertas saham untuk dijual kepada masyarakat dengan iming-iming akan diberi deviden.
Siapakah yang memanfaatkan keberadaan pasar modal ini? Dengan persyaratan untuk menjadi emiten dan penilaian investor yang sangat ketat, lagi-lagi hanya perusahaan besar dan sehat saja yang akan dapat menjual sahamnya di pasar modal ini.
Siapa mereka itu? Kaum kapitalis juga, yang sudah mempunyai perusahaan besar, untuk menjadi lebih besar lagi. Adanya tambahan pasar modal ini, apakah sudah cukup? Bagi kaum kapitalis tentu tidak ada kata cukup. Mereka ingin terus membesar. Dengan cara apa lagi?
Cara selanjutnya yaitu dengan “memakan perusahaan kecil”. Bagaimana caranya? Menurut teori Karl Marx, dalam pasar persaingan bebas, ada hukum akumulasi kapital (the law of capital accumulations), yaitu perusahaan besar akan “memakan” perusahaan kecil. Contohnya, jika di suatu wilayah banyak terdapat toko kelontong yang kecil, maka cukup dibangun sebuah mal yang besar. Dengan itu toko-toko itu akan tutup dengan sendirinya.
Dengan apa perusahaan besar melakukan ekspansinya? Tentu dengan didukung oleh dua lembaga sebelumnya, yaitu perbankan dan pasar modal.
Agar perusahaan kapitalis dapat lebih besar lagi, mereka harus mampu memenangkan persaingan pasar. Persaingan pasar hanya dapat dimenangkan oleh mereka yang dapat menjual produk-produknya dengan harga yang paling murah. Bagaimana caranya?
Caranya adalah dengan mengusai sumber-sumber bahan baku seperti: pertambangan, bahan mineral, kehutanan, minyak bumi, gas, batubara, air, dsb. Lantas, dengan cara apa perusahaan besar dapat menguasai bahan baku tersebut? Lagi-lagi, tentu saja dengan dukungan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal.
Jika perusahaan kapitalis ingin lebih besar lagi, maka cara berikutnya adalah dengan “mencaplok” perusahaan milik negara (BUMN).
Kita sudah memahami bahwa perusahaan negara umumnya menguasai sektor-sektor publik yang sangat strategis, seperti: sektor telekomunikasi, transportasi, pelabuhan, keuangan, pendidikan, kesehatan, pertambangan, kehutanan, energi, dsb. Bisnis di sektor yang strategis tentu merupakan bisnis yang sangat menjanjikan, karena hampir tidak mungkin rugi. Lantas bagaimana caranya?
Caranya adalah dengan mendorong munculnya Undang-Undang Privatisasi BUMN. Dengan adanya jaminan dari UU ini, perusahaan kapitalis dapat dengan leluasa “mencaplok” satu per satu BUMN tersebut. Tentu tetap dengan dukungan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal.
Jika dengan cara ini kaum kapitalis sudah mulai bersinggungan dengan UU, maka sepak terjangnya tentu akan mulai banyak menemukan hambatan. Bagaimana cara mengatasinya?
Caranya ternyata sangat mudah, yaitu dengan masuk ke sektor kekuasaan itu sendiri. Kaum kapitalis harus menjadi penguasa, sekaligus tetap sebagai pengusaha.
Untuk menjadi penguasa tentu membutuhkan modal yang besar, sebab biaya kampanye itu tidak murah. Bagi kaum kapitalis hal itu tentu tidak menjadi masalah, sebab permodalannya tetap akan didukung oleh dua lembaga sebelumnya, yaitu perbankan dan pasar modal.
Jika kaum kapitalis sudah melewati cara-cara ini, maka hegemoni (pengaruh) ekonomi di tingkat nasional hampir sepenuhnya terwujud. Hampir tidak ada problem yang berarti untuk dapat mengalahkan kekuatan hegemoni ini. Namun, apakah masalah dari kaum kapitalis sudah selesai sampai di sini?
Tentu saja belum. Ternyata hegemoni ekonomi di tingkat nasional saja belumlah cukup. Mereka justru akan menghadapi problem baru. Apa problemnya?
Problemnya adalah terjadinya ekses produksi. Bagi perusahaan besar, yang produksinya terus membesar, jika produknya hanya dipasarkan di dalam negeri saja, tentu semakin lama akan semakin kehabisan konsumen. Lantas, kemana mereka harus memasarkan kelebihan produksinya? Dari sinilah akan muncul cara-cara berikutnya, yaitu dengan melakukan hegemoni di tingkat dunia.
Caranya adalah dengan membuka pasar di negara-negara miskin dan berkembang yang padat penduduknya. Teknisnya adalah dengan menciptakan organisasi perdagangan dunia (WTO), yang mau tunduk pada ketentuan perjanjian perdagangan bebas dunia (GATT), sehingga semua negara anggotanya akan mau membuka pasarnya tanpa halangan tarif bea masuk, maupun ketentuan kuota impornya (bebas proteksi).
Dengan adanya WTO dan GATT tersebut, kaum kapitalis dunia akan dengan leluasa dapat memasarkan kelebihan produknya di negara-negara “jajahan”-nya.
Untuk mewujudkan ekspansinya ini, perusahaan kapitalis dunia tentu akan tetap didukung dengan permodalan dari dua lembaga andalannya, yaitu perbankan dan pasar modal.
Jika kapitalis dunia ingin lebih besar lagi, maka caranya tidak hanya cukup dengan mengekspor kelebihan produksinya. Mereka harus membuka perusahaannya di negara-negara yang menjadi obyek ekspornya. Yaitu dengan membuka Multi National Coorporations (MNC) atau perusahaan lintas negara, di negara-negara sasarannya.
Dengan membuka langsung perusahaan di negara tempat pemasarannya, mereka akan mampu menjual produknya dengan harga yang jauh lebih murah. Strategi ini juga sekaligus dapat menangkal kemungkinan munculnya industri-industri lokal yang berpotensi menjadi pesaingnya.
Untuk mewujudkan ekspansinya ini, perusahaan kapitalis dunia tentu akan tetap didukung dengan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal.
Apakah dengan membuka MNC sudah cukup? Jawabnya tentu saja belum. Masih ada peluang untuk menjadi semakin besar lagi. Caranya? Yaitu dengan menguasai sumber-sumber bahan baku yang ada di negara tersebut.
Untuk melancarkan jalannya ini, kapitalis dunia harus mampu mendikte lahirnya berbagai UU yang mampu menjamin agar perusahaan asing dapat menguasai sepenuhnya sumber bahan baku tersebut.
Contoh yang terjadi di Indonesia adalah lahirnya UU Penanaman Modal Asing (PMA), yang memberikan jaminan bagi perusahaan asing untuk menguasai lahan di Indonesia sampai 95 tahun lamanya (itu pun masih bisa diperpanjang lagi). Contoh UU lain, yang akan menjamin kebebasan bagi perusahaan asing untuk mengeruk kekayaan SDA Indonesia adalah: UU Minerba, UU Migas, UU Sumber Daya Air, dsb.
Menguasai SDA saja tentu belum cukup bagi kapitalis dunia. Mereka ingin lebih dari itu. Dengan cara apa? Yaitu dengan menjadikan harga bahan baku lokal menjadi semakin murah. Teknisnya adalah dengan menjatuhkan nilai kurs mata uang lokalnya.
Untuk mewujudkan keinginannya ini, prasyarat yang dibutuhkan adalah pemberlakuan sistem kurs mengambang bebas bagi mata uang lokal tersebut. Jika nilai kurs mata uang lokal tidak boleh ditetapkan oleh pemerintah, lantas lembaga apa yang akan berperan dalam penentuan nilai kurs tersebut?
Jawabannya adalah dengan Pasar Valuta Asing (valas). Jika negara tersebut sudah membuka Pasar Valasnya, maka kapitalis dunia akan lebih leluasa untuk “mempermainkan” nilai kurs mata uang lokal, sesuai dengan kehendaknya. Jika nilai kurs mata uang lokal sudah jatuh, maka harga bahan-bahan baku lokal dijamin akan menjadi murah, kalau dibeli dengan mata uang mereka.
Jika ingin lebih besar lagi, ternyata masih ada cara selanjutnya. Cara selanjutnya adalah dengan menjadikan upah tenaga kerja lokal bisa menjadi semakin murah. Bagaimana caranya? Yaitu dengan melakukan proses liberalisasi pendidikan di negara tersebut. Teknisnya adalah dengan melakukan intervesi terhadap UU Pendidikan Nasionalnya.
Jika penyelenggaraan pendidikan sudah diliberalisasi, berarti pemerintah sudah tidak bertanggung jawab untuk memberikan subsidi bagi pendidikannya. Hal ini tentu akan menyebabkan biaya pendidikan akan semakin mahal, khususnya untuk pendidikan di perguruan tinggi. Akibatnya, banyak pemuda yang tidak mampu melanjutkan studinya di perguruan tinggi.
Keadaan ini akan dimanfaatkan dengan mendorong dibukanya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak-banyaknya. Dengan sekolah ini tentu diharapkan akan banyak melahirkan anak didik yang sangat terampil, penurut, sekaligus mau digaji rendah. Hal ini tentu lebih menguntungkan, jika dibanding dengan mempekerjakan sarjana. Sarjana biasanya tidak terampil, terlalu banyak bicara dan maunya digaji tinggi.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, cara-cara hegemoni kapitalis dunia di negara lain ternyata banyak mengunakan intervesi UU. Hal ini tentu tidak mudah dilakukan, kecuali harus dilengkapi dengan cara yang lain lagi. Nah, cara inilah yang akan menjamin proses intervensi UU akan dapat berjalan dengan mulus. Bagaimana caranya?
Caranya adalah dengan menempatkan penguasa boneka. Penguasa yang terpilih di negara tersebut harus mau tunduk dan patuh terhadap keinginan dari kaum kapitalis dunia. Bagaimana strateginya?
Strateginya adalah dengan memberikan berbagai sarana bagi mereka yang mau menjadi boneka. Sarana tersebut, mulai dari bantuan dana kampanye, publikasi media, manipulasi lembaga survey, hingga intervesi pada sistem perhitungan suara pada Komisi Pemilihan Umumnya.
Nah, apakah ini sudah cukup? Tentu saja belum cukup. Mereka tetap saja akan menghadapi problem yang baru. Apa problemnya?
Jika hegemoni kaum kapitalis terhadap negara-negara tertentu sudah sukses, maka akan memunculkan problem baru. Problemnya adalah “mati”-nya negara jajahan tersebut. Bagi sebuah negara yang telah sukses dihegemoni, maka rakyat di negara tersebut akan semakin miskin dan melarat. Keadaan ini tentu akan menjadi ancaman bagi kaum kapitalis itu sendiri. Mengapa?
Jika penduduk suatu negeri itu jatuh miskin, maka hal itu akan menjadi problem pemasaran bagi produk-produk mereka. Siapa yang harus membeli produk mereka jika rakyatnya miskin semua? Di sinilah diperlukan cara berikutnya.
Agar rakyat negara miskin tetap memiliki daya beli, maka kaum kapitalis dunia perlu mengembangkan Non Government Organizations (NGO) atau LSM. Tujuan pendirian NGO ini adalah untuk melakukan pengembangan masyarakat (community development), yaitu pemberian pendampingan pada masyarakat agar bisa mengembangkan industri-industri level rumahan (home industry), seperti kerajinan tradisionil maupun industri kreatif lainnya. Masyarakat harus tetap berproduksi (walaupun skala kecil), agar tetap memiliki penghasilan.
Agar operasi NGO ini tetap eksis di tengah masyarakat, maka diperlukan dukungan dana yang tidak sedikit. Kaum kapitalis dunia akan senantiasa men-support sepenuhnya kegiatan NGO ini. Jika proses pendampingan masyarakat ini berhasil, maka kaum kapitalis dunia akan memiliki tiga keuntungan sekaligus, yaitu: masyarakat akan tetap memiliki daya beli, akan memutus peran pemerintah dan yang terpenting adalah, negara jajahannya tidak akan menjadi negara industri besar untuk selamanya.
Sampai di titik ini kapitalisme dunia tentu akan mencapai tingkat kejayaan yang nyaris “sempurna”. Apakah kaum kapitalis sudah tidak memiliki hambatan lagi? Jawabnya ternyata masih ada. Apa itu? Ancaman krisis ekonomi. Sejarah panjang telah membuktikan bahwa ekonomi kapitalisme ternyata menjadi pelanggan yang setia terhadap terjadinya krisis ini.
Namun demikian, bukan berarti mereka tidak memiliki solusi untuk mengatasinya. Mereka masih memiliki jurus pamungkasnya. Apa itu?
Ternyata sangat sederhana. Kaum kapitalis cukup “memaksa” pemerintah untuk memberikan talangan (bailout) atau stimulus ekonomi. Dananya berasal dari mana? Tentu akan diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sebagaimana kita pahami bahwa sumber pendapatan negara adalah berasal dari pajak rakyat. Dengan demikian, jika terjadi krisis ekonomi, siapa yang harus menanggung bebannya. Jawabnya adalah: rakyat, melalui pembayaran pajak yang akan terus dinaikkan besarannya, maupun jenis-jenisnya.
Bagaimana hasil akhir dari semua ini? Kaum kapitalis akan tetap jaya dan rakyat selamanya akan tetap menderita. Dimanapun negaranya, nasib rakyat akan tetap sama. Itulah produk dari hegemoni kapitalisme dunia.
Rabu, 18 Mei 2016
Penafian Sejarah dan Realita
Penafian Sejarah dan Realita
“KAOEM TIONGHOA, ARAB, PERANAKAN dari segala bangsa dan lain2 Bangsa-Asing! P.K.I Komintern dan Komunisme tidak memoesoehi dan membentji bangsa lain. P.K.I. Komintern dan Komunisme memoesohi dan membentji KEKEDJAMAN dan KETIDAKADILAN. Pertegoehkanlah barisan toean2 oentoek membantoe oesaha KEMERDEKAAN. Djangan menghalang-halangi oesaha Rakjat Indonesia oentoek menoentoet HAK2NJA. KAOEM BOEROEH dan TANI seloeroeh Indonesia Pertegoehkanlah BARISAN dan BENTENGMOE. KAMOELAH jg mendjadi TOELANG-POENGGOENG Kemerdekaan Indonesia…”
Meskipun begitu, hingga sekarang kaum fasis masih saja memanipulasi
kenyataan ini. Komunisme distigma sebagai anti agama dan anti Pancasila.
Malah belakangan, setelah diselenggarakannya Simposium 65, propaganda
anti komunisme kaum fasis makin gencar dan brutal. Seorang pemuda
dipukuli di pinggir jalan hanya karena memakai pin berlambang palu arit;
perjuangan para petani melawan perampasan tanah dan perusakan
lingkungan distigma sebagai musuh negara; seorang aktivis lingkungan
memakai kaos belambang palu arit dalam sebuah peringatan May Day 1 Mei
2016 dituduh melawan Pancasila; beberapa penerbit buku di Yogyakarta
digeledah oleh aparat karena menerbitkan buku-buku kritis; dan terakhir
razia atau sweeping terhadap buku-buku kiri yang terjadi di beberapa kota.
Mulai kapan Pancasila anti terhadap KOM? Bukankah dalam pidatonya di
bulan Desember 1965, Soekarno mengatakan Pancasila tidak anti KOM? Sikap
anti KOM ini tidak tiba-tiba turun dari langit, melainkan diciptakan
oleh sebuah rezim melalui berbagai rupa propaganda dan teror. Anehnya,
polanya selalu sama: Membenturkan sesama rakyat agar saling tikam di
antara mereka. Sementara sang tuan fasis dan tuan kapitalis sendiri
sambil meminum kopi dan menghisap cerutu tinggal menunggu hasilnya.
Benarkah PKI bangkit lagi? Saya tak akan langsung menjawabnya.
Melainkan mengelaborasi prasangka dan fitnah yang dipropagandakan kaum
fasis itu sendiri, sembari mengajak semua pihak untuk menengok kembali
selintas sejarah perjuangan kaum pergerakan di Zaman Bergerak. Kalau kita baca kajian mengenai Marxisme dan gerakan komunis di
Indonesia yang ditulis dengan tujuan sebagai propaganda fasis anti
komunis dan sayap kanan pro kapitalis, hampir sebagian besar kajian
tersebut gagal memahami butir-butir utama pemikiran Marxisme—karena
memang tidak langsung membaca teks-teks kunci Marx dan Engels maupun
para pemikir Marxis lainnya—sehingga bermuara pada reduksionisme.
Intinya, sulit kita temukan ulasan tentang Marxisme dan komunisme yang
ditulis dengan semangat anti Komunisme, berangkat dari sumber pertama
atau dari komentator-komentator yang otoritatif.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana mungkin seseorang yang tidak
mengerti suatu hal (marxisme/komunisme), mengritik atau menghujat hal
tersebut dan menganggapnya sebagai “sampah?” Kata sampah ini juga yang
dipakai oleh Sastro Al-Ngatawi, salah seorang pegiat acara-acara seni,
dalam menanggapi beredarnya foto Pius Ginting, seorang aktivis
lingkungan yang memakai kaos palu arit pada peringatan May Day 2016.
“Apa bangsa ini gemar menampung sampah ya? Komunis sudah jadi sampah di
tempat lain, di sini dikagumi para aktivis. Hizbut Tahrir yang sudah
dibuang dan dilarang di tempat asalnya, di sini malah dipuja-puja”
demikian ujarnya. Benarkah Komunisme sampah di tempat lain? Tempat lain
yang mana? Dimanakah letak ke-sampah-an komunisme? Sepertinya ia tak
tahu kalau Partai Komunis Palestina menjadi partai terbesar kedua di
Palestina, yang turut memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Atau lupa
bahwa komunisme menyumbang banyak pada kemerdekaan Indonesia dibanding
Soeharto dan jenderal-jenderal lulusan KNIL. Baiklah, anggap saja
Marxisme dan Komunisme sebagai sampah. Yang jelas kader-kader PMII dan
HMI tak akan bisa bicara teori Hegemoni tanpa terlebih dulu membaca
Antonio Gramsci yang komunis. Bahkan mereka tak akan mampu bicara
apa-apa mengenai dunia hari ini (baca: realitas Late Capitalism) tanpa membaca kembali traktat barisan para pemikir Marxis/komunis.
Tentu saja kalau ia membaca marxisme dengan baik, akan mengajukan kritik yang agak serius semacam Ali Syariati, atau minimal menulis esai pendek semacam Gus Dur, ketimbang menumpahkan
kebencian (terhadap komunisme), dengan menganggap sampah suatu gagasan.
Saya juga menduga yang bersangkutan tidak pernah membaca secara
sistematis tiga jilid Das Kapital Marx, yang lumayan
memusingkan kepala manusia dengan kecerdasan pas-pasan semacam saya.
Atau pernah selesai membaca satu saja karya Marx dan membuat catatan
kritis atasnya.
Mengenai karyanya yang rumit tersebut, Marx sendiri mengingatkan
sahabatnya, Ludwig Kugelmann, “Tolong beri tahukan istrimu, bahwa bab
tentang ‘Hari Kerja’, Koperasi, Pemilahan antara Tenaga Kerja dan mesin,
dan terakhir mengenai ‘Akumulasi Primitif’ adalah yang paling langsung
bisa dibaca. Kau harus menjelaskan terminologi yang tak dipahami
untuknya. Kalau ada poin-poin yang meragukan, aku siap membantu”. Pesan Marx sepertinya tak hanya berlaku bagi istrinya Kugelmann, melainkan kita semua yang hendak membaca Das Kapital.
Nah, karena Marx sudah tidak ada, komentator-komentatornya yang
otoritatif lah yang akan membantunya. Misal, untuk mempermudah baca Das Kapital, kita bisa terlebih dulu membaca Reading Capital-nya Luis Althusser dll.
Fatalnya lagi, karena minimnya belajar banyak orang dengan gegabah menyamakan komunisme yang memperjuangkan politik kelas dengan Islam Politik semacam HTI yang memperjuangkan politik identitas.
Jadi, dimanakah kesamaan komunisme dan Hizbut Tahrir? Ini harus
didudukkan secara jernih. Menganggap diktatur proletariat sebagai sama
sebangun dengan Khilafah Islam merupakan kesalahan fatal. Dan lebih
fatal lagi, menganggap diktatur proletariat sebagai Stalinisme dan
menuding Komunisme sebagai anti keragaman dan anti demokrasi. Mengenai
demokrasi dalam sosialisme, saya sarankan mereka, khususnya Sastro,
membaca karya Marx, The Civil War in France, 1871 mengenai
Komune Paris atau pemerintahan Komunis yang dijalankan secara demokratis
pertama kali oleh kelas pekerja Paris pada 1871.
Bahkan, untuk hal ini Nicos Poulantzas mengatakan bahwa sosialisme
harus menjadi demokratis atau tidak menjadi apa-apa sama sekali. Dengan demikian, logika berpikirnya mestinya begini: “Karena dalam sejarah Islam pernah ada targedi Mihnah yang memalukan dan menjijikkan, tidak otomatis Islam menjadi sampah; karena saat ini banyak orang gemar gembar-gembor Islam rahmatan lil alamin
tapi tak mau membela TKI-TKI yang diperkosa, tak mau membela petani
yang dirampas tanahnya, dan membiarkan perusakan lingkungan terjadi di
mana-mana, tidak otomatis Islam menjadi sampah”. Demikian juga dengan
Marxisme. Mudah sekali kan?
Sementara mengenai politik kelas Marxisme/komunisme, saya tak akan
mengutip dari dasar pikiran Marx yang rumit. Agar lebih mudah dicerna,
izinkan saya mengutip kembali lanjutan “Makloemat Partij Komunis
Indonesia ke-4” sebagaimana dimuka dengan lebih lengkap,
“KAOEM TIONGHOA, ARAB, PERANAKAN dari segala bangsa dan lain2 Bangsa-Asing! P.K.I Komintern dan Komunisme tidak memoesoehi dan membentji bangsa lain. P.K.I. Komintern dan Komunisme memoesohi dan membentji KEKEDJAMAN dan KETIDAKADILAN. Pertegoehkanlah barisan toean2 oentoek membantoe oesaha KEMERDEKAAN. Djangan menghalang-halangi oesaha Rakjat Indonesia oentoek menoentoet HAK2NJA. KAOEM BOEROEH dan TANI seloeroeh Indonesia Pertegoehkanlah BARISAN dan BENTENGMOE. KAMOELAH jg mendjadi TOELANG-POENGGOENG Kemerdekaan Indonesia…”
Terang sudah bahwa sejak semula fondasi perjuangan Komunisme adalah
politik kelas, bukan politik identitas. Tanpa politik kelas, ambruklah
seluruh narasi emansipatoris Komunisme. Pada titik ini, justru
internasionalisme Komunisme selaras dengan visi pembebasan Islam yang rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam yang meliputi aspek pemakmuran bumi (al–imarah), pemeliharaan (ar-ri’ayah), dan perlindungan (al–hifzh) dari segala ancaman yang hendak merusaknya. Bukan rahmatan lil muslimin, apalagi sekedar lin Nahdliyin?
Perjuangan pembebasan komunisme yang melampaui sekat-sekat agama, dan
etnis inilah, menyebabkan Komunisme dan Islam secara aksiologis
berkesesuaian. Keduanya “memoesohi dan membentji KEKEDJAMAN dan
KETIDAKADILAN”. Ini jugalah yang menjadi saripati Pancasila yang
berulangkali diungkapkan Bung Karno. Jadi, kalau ada komunis yang
menganjurkan kekejaman dan ketidakadilan maka bukan komunis namanya.
Demikian juga dengan Islam. Tapi, ada catatan: jangan sekali-kali pernah
menggeneralisir Marxisme dan Komunisme sebagai Stalinisme dan jangan
pula menggeneralisir Islam sebagai Usamah bin Laden, atau Yazid bin
Muawiyah yang despot dan kejam. Pendeknya, komunisme memperjuangkan
politik kelas bukan politik identitas. Komunisme melawan kapitalisme dan
feodalisme, bukan melawan agama.
Bermula dari kegagalan membaca Marx dan Marxisme, kekeliruan yang
dibumbui dengan kelicikan dan penipuan direproduksi oleh para demagog
orde baru yang fasistis. Karena ketidakmampuannya membaca dengan teliti
dan jernih jalinan konseptual Marx yang rumit, kemudian dengan mudah
dipukulnya sebagai sampah.
Bisa jadi memang kaum fasis dan kapitalis sangat takut dengan PKI,
karena sejarah mencatat partai ini memiliki disiplin dan moral partai
yang belum ada bandingannya dalam sejarah politik Indonesia modern,
apalagi jika dibandingkan dengan partai-partai yang ada saat ini—yang
semuanya mengaku relijius, namun isinya sebagian besar perampok—
jaraknya baina al-sama’ wa al-ardli (antara langit dan bumi). Bahkan, konon kata Prajurit yang berasal dari bahasa Jawa Prasaja+Jujur+Irit,
sebagaimana kita kenal selama ini, seringkali disematkan pada pengurus
dan kader partai ini untuk menunjukkan kualitas pribadi dan komitmen
perjuangannya. Bayangkan saja, untuk membikin kongres, berbeda dengan
partai dan ormas-ormas sekarang yang mengandalkan dana Bansos, dana
APBD, dan sedekah dari perusahaan-perusahaan, mereka justru iuran dan
mewajibkan setiap kader dan anggota partai untuk mengurangi jatah
rokoknya untuk menjaga independensi dan kosistensi perjuangannya. Dengan
inilah mereka berani mengatakan tidak pada segala rupa penindasan dan
konsisten berjuang membela kaum lemah.
Bukan bermaksud melebih-lebihkan, ketika bergabung dengan partai,
sejak semula mereka telah siap dengan segala resiko yang terjadi dalam
melawan kolonialisme, kapitalisme dan fasisme. Sebagaimana tampak dalam
catatan Soeryana, menunjukkan bahwa partai ini memang mempunyai
kader-kader yang “tidak mudah goyang karena kesengsaraan-kesengsaraan
fisik, moril, dan materiil. Mereka semenjak semula masuk Partai sudah
diberikan perlengkapan persiapan pikiran untuk ‘tiga B’, yaitu ‘Bui,
Buang, Bunuh’ artinya dipenjara, diinternir atau diasingkan, dan mati
dalam perjuangan”. Militansi ini yang tidak dimiliki oleh kebanyakan aktivis hari ini yang
sekedar cari makan dan kedudukan sendiri. Ketakutan ini wajar bagi
mereka yang fasis, anti rakyat dan pro pasar, karena Komunisme tak hanya
memiliki analisis yang jitu tapi juga konsistensi perjuangan yang tiada
bandingnya.
Lebih lanjut Soeryana mengatakan, “para kader PKI ini, terutama yang
berasal dari Angkatan 26 (Digulis), militansinya tercermin dalam
kehidupan sehari-hari mereka di dalam penjara. Kesengsaraan yang menimpa
diri mereka, kadang-kadang diromantisir dengan ungkapan kata, guna
membangun vitalitetnya sendiri. Seperti mereka senantiasa katakan
‘Kesengsaraan akan terus menimpa kita, akan tetapi selama partai ada,
kita akan tetap mencari jalan keluar untuk mengatasinya’. Bahkan secara
diam-diam atau bi al-sirri (sembunyi-sembuyi) mereka
mengorganisir di dalam penjara dengan mengadakan: pendidikan teori
dengan kursus-kursus politik dan agitasi dan propaganda.
Militansi ini tak jauh beda dengan perjuangan nabi Muhammad SAW dan
para sahabat pada masa pembentukan Islam awal dalam menghalau teror kaum
kafir Quraisy.
Namun yang menggelikan, rupanya banyak pula, mereka yang mengaku
intelektual, atau setidaknya selama ini dianggap demikian, mengidap
paranoia dengan lambang Palu Arit dan phobia terhadap KOM.
Padahal lambang palu dan arit merupakan simbol kelas pekerja, simbolnya
mayoritas umat manusia yang dihisap oleh modus produksi kapitalisme.
Padahal dari pekerjaan merekalah kita semua bisa menikmati hidup.
Merekalah produsen sesungguhnya dari apa yang selama ini kita konsumsi.
Dengan itu, mereka terasing dari diri dan karyanya sendiri. Kelak bisa
saja simbol itu diubah menjadi gergaji, bor kayu, atau cangkul yang di
atasnya ada gambar Ka’bah atau Al-Qur’an untuk meneguhkan bahwa kelas
pekerja yang sedang berjuang membebaskan dirinya dari keterasingan dan
meraih keadilan, juga beragama dan membaca Al-Qur’an selain membaca Das Kapital dan Manifesto Komunis.
Paranoia juga telah menjadikan seseorang gampang emosi dan tidak
jernih melihat persoalan. Kegaduhan dan reaksi terhadap HTI, membuktikan
hal ini. Sikap reaktif Islam moderat terhadap HTI, sebenarnya tak hanya
dipicu oleh tak berkesudahannya perdebatan tafsir Islam di antara
mereka, melainkan juga rasa frustasi Islam moderat menghadapi militansi
HTI (dan tentu juga PKS) dalam mengorganisir umat Islam. Ini
menyedihkan, karena tak sepakat dengan HTI, kelompok beberapa pihak,
atas dukungan militer, menganjurkan untuk merobek bendera HTI. Saya
kuatir, setelah dengan enteng merobek bendera, selangkah lagi mereka
akan merobek dada orang. Tentu saja saya tidak bermaksud membela HTI,
karena saya sendiri tak setuju dengan HTI. Tapi bukan dengan cara-cara
brutal menyikapinya, melainkan melalui kesanggupan kita berkontestasi
secara fair, dengan beradu argumen dan strategi.
Belajar dari Lenin, HTI dan PKS berpolitik secara realis. Mereka
kembali kepada problem yang dihadapi massa rakyat di mana mereka
berpijak. Mereka membikin sel-sel pengkaderan, menjadikan masjid sebagai
basis perjuangannya, membikin koran-koran dan buletin yang disebarkan
di hampir semua masjid, dan mampu mengelola dana amal yang luar biasa
besar dengan amanah dan professional. Inilah yang tak dilakukan oleh
kelompok Islam moderat. Mereka membicarakan Islam damai tapi memunggungi
massa rakyat. Berdiskusi di hotel-hotel. Tidak mengorganisir massa
rakyat, melainkan mengerjakan kegiatan pemberdayaan berbasis
program-program donor yang akan habis ketika dana donor habis. Cuek saja
dengan kenaikan BBM, membiarkan buruh dan petani berjuang sendiri. Dan
mohon maaf, kaum kelas menengah penganjur Islam rahmatan lil alamin
di perkotaan ini tidak saleh-saleh amat dalam beragama. Malah sering
saya dapati mereka jarang shalat, atau malah meremehkan ibadah mahdlah
yang sangat fundamental bagi umat Islam. Kalaupun ada yang rajin ke
masjid, seperti kader-kader IPNU dan IPPNU contohnya, lagi-lagi tidak
realis. Kegiatannya tidak menyasar problem nyata yang dihadapi umat.
Mereka tergagap-gagap dengan situasi zamannya. Tercerabut dari
lingkungannya. Disinilah pentingnya belajar pada komunisme.
Jangan-jangan, HTI dan PKS ini justru sudah baca What is To be Done-nya Lenin sebagai bahan ajar strategi perjuangan mereka. Sementara kita, Tidak.
***
Kembali ke persoalan Komunisme. Sekarang, kaum fasis anti rakyat, anti umat, anti demokrasi (pseudo demokrat) takut melihat gerakan rakyat, terutama gerakan Petani melawan perampasan tanah yang disebut Marx sebagai “primitive accumulation”
dan perusakan lingkungan, dan gerakan buruh yang makin menunjukkan
posisi politiknya. Ketakutan tersebut tak lain karena selama ini mereka
memunggungi rakyat. Tidak pernah terlibat dalam memperjuangkan nasib
para buruh dan petani. Mereka, kaum fasis dan kapitalis berkolaborasi
dalam menghancurkan Indonesia. Maka itu, di tengah malapetaka sosial
negeri ini, umat Islam tidak boleh ikut-ikut menjadi fasis. Sangat
disayangkan pegiat seni sekelas bung Sastro, ikut-ikut melontarkan
statemen, yang menurut saya, gegabah dan berlebihan. Justru kondisi
karut marutnya Indonesia ini harusnya bisa dijadikan sebagai ladang
perjuangan bagi kita umat Islam untuk menerjemahkan visi rahmatan lil alamin di kehidupan nyata. Fastabiqul khairat,
bahu membahu membela yang dilemahkan. Bukan malah justru turut dalam
pusaran permainan militer, atau mendiamkan penghancuran ruang hidup oleh
kapitalisme. Sayangnya, bagi sebagian agamawan, alih-alih membela
saudaranya yang papa dan dirampas tanahnya, Islam hanya
ditafsirkan sekadar sebagai solidaritas pada mereka yang telah mati
saja, tidak pada mereka yang masih hidup dan menanggung derita.
Oleh karena itu, ketimbang menyampahkan suatu gagasan, lebih baik menyumbang gagasan di tengah pesatnya proses de-peasantization
di Indonesia saat ini, yaitu suatu proses penghancuran petani sebagai
produsen dan unit ekonomi mandiri yang disebabkan oleh gagalnya reforma
agraria, dan maraknya perampasan tanah (land grabing). Dan ingat, mereka saudara kita. Mereka syahadat, shalat, dan puasa yang sama dengan kita.
Baiklah, agar memori sejarah kita terhadap perjuangan Indonesia tak
segera lapuk dimakan hama fasisme, perlu kiranya kita ingat kembali yang
dikatakan Milan Kundera, bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.
Penting kiranya kita baca kembali perjuangan para ksatria Komunis di
Zaman Bergerak. Nah, di antara Kesatria tersebut adalah Haji Misbach,
seorang Kiai Komunis dan jurnalis dari Surakarta yang konsisten di garis
massa rakyat Hindia Belanda merebut kemerdekaanya. Seorang saleh yang
fasih dalam ilmu Islam tersebut mengatakan,
“Hai saudara2! Ketahoeilah! Saja seorang yang mengakoe setia pada Igama, dan djoega masoek dalam lapang pergerakan kommunis, dan saja mengakoe djoega bahoea tambah terbukanja fikiran saja di lapang kebenaran atas perintah agama Islam itoe, tidak lain jalah dari sasoedah saja mempeladjari ilmoe kommunisme…..!”.
Ia terang-terangan menemukan Islamnya melalui Komunisme.
Di tengah para agamawan yang mengajak rakyat Hindia Belanda menerima
dengan sabar kemalangan hidupnya sebagai takdir yang sudah digariskan
oleh Allah swt, ia dengan lantang menggugatnya,
“Sebagai di Hindia ini, semasa kaoem boeroeh dan rakjat jang miskin ini bergerak akan melawan tindasan yang dideritanja, maka matjam-matjamlah usaha akan melemahkan pergerakan ra’jat jang tertindas itoe. Adalah jang dengan djalan mengembangkan agama Islam dengan menjoeroeh ra’jat itoe nerima kaloe ditindas, sebab itoe toch kodrat Toehan, nanti akan dapat balasan di achirat”.
Persis seperti saat ini, sebagian besar agamawan kita gemar gembar gembor Islam rahmatan lil alamin
tapi tak mampu menolong kemalangan saudara-saudaranya, mereka tak mampu
membaca realitas yang timpang dan tidak berkeadilan, justru sibuk bikin
acara parade-parade-an dan musik-musikan yang jauh dari derita dan air
mata umat Islam yang ditindas di pabrik-pabrik, diperkosa dan dilecehkan
di Arab Saudi, atau yang dirampas tanahnya.
Pada masa Zaman Bergerak, keteguhan memegang iman, tak hanya diwujudkan dengan tenggelam dalam ibadah mahdlah
yang mempertontonkan kesalehan pribadi sebagaimana kebanyakan hari ini,
melainkan dalam perjuangan pembebasan melawan kolonialisme Belanda.
Bahkan, bisa jadi pada saat pemberontakan PKI 1926/27 terhadap Belanda
meletus di Banten dan Silungkang Sumatra Barat, yang kita tahu sebagai
basis Islam yang kuat, pekik takbir, sholawat dan lagu internationale,
dikumandangkan beriringan sebagai pemompa daya juang di hadapan tiran.
Karena dari banyak sumber sejarah mengatakan bahwa para santri tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yang dalam hatinya senantiasa digenangi
oleh rasa cinta pada Allah dan selalu istiqamah merapalkan: ilahi anta maqshudi wa ridhaqa mathlubi a’tini mahabbataka wa ma’rifatak (Ya
Allah hanya Engkaulah yang hamba maksud, Ridha-Mu yang hamba dambakan,
berikanlah hamba kemampuan untuk dapat mencinta-Mu dan bermakrifat
kepada-Mu) juga terlibat dalam pemberontakan terhadap Belanda tersebut.
Para ulama yang bergabung dengan PKI Banten antara lain Tubagus KH
Achmad Chatib, Tubagus H Abdulhamid, KH Mohammad Gozali, Tubagus KH
Abdul Hadi, Puradisastra (kakak Sukaesih), Alirachman (Aliarcham), dan
Tubagus Hilman. Para Kiai Komunis dalam pemberontakan Banten banyak yang
menjadi syuhada. Setelah pemberontakan, setidaknya ada 99 orang dibuang
ke Boven Digul, 29 di antaranya sudah bergelar haji, 17 di antaranya
bahkan pernah tinggal di Makkah. Sedang 11 orang lainnya tercatat
sebagai guru agama. Beberapa ulama yang dibuang ke Boven Digul adalah H
Chatib, H Asgari, H Emed, H Mohammad Arif, H Abdul Hamid (adik H
Chatib), H Artadjaja, H Soeeb, H Abdul Hadi, H Akjar, dan H Sentani.
Di tengah kejumudan dan kepicikan berpikir, Sastro yang lain, Sastro
Anwar makruf, seorang pemimpin Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia
dan aktivis buruh, dalam salah satu wawancara IndoPROGRESS dengannya, mengenai apa yang sedang diperjuangkannya dengan organisasinya, ia mengatakan,
“Secara material dan spiritual, kami ingin mewujudkan surga dunia dan akherat. Surga dunia berarti dunia yang damai, bahagia, sejahtera, setara dan sentausa bagi seluruh umat manusia, juga dengan semesta alam yang indah, lestari dan terjaga. Hal tersebut akan terjadi jika dunia bebas dari penghisapan dan penindasan. Jika surga dunia terwujud, maka dengan sendirinya surga akherat akan mengikuti”.
Sekali lagi, anti KOM bukanlah tiba-tiba turun dari langit, melainkan
dipropagandakan. Pancasila yang tidak pernah anti KOM hari ini justru
ditafsir dan ditampilkan secara fasistis dan anti rakyat. Di hadapan
mara bahaya dan fitnah kaum fasis dan manuver sayap kanan, jangan pernah
takut dan gentar. Kuncinya, bagi yang beriman, kata ibu saya: “Jangan
lupa sholat dan perbanyak sholawat”.Terhadap berbagai kebohongan fasisme selama ini, mari kita bertanya padanya sebagaimana seringkali Al-Qur’an bertanya: …Hatu burhanukum in kuntum shadiqien (tunjukkanlah bukti-bukti kalian kalau kalian itu benar).Wallahua’lam. ***
Kamis, 28 April 2016
Mereka yang ‘dibui tanpa jeruji’
Ratusan warga Indonesia terpaksa
hidup “mengembara” dari satu negara ke negara lain setelah paspor mereka
dicabut menyusul Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Tidak ada
angka yang jelas berapa jumlah warga Indonesia yang tidak bisa kembali.
Namun pada awal 1960an, ribuan orang dikirim ke luar negeri oleh
Presiden Soekarno saat itu untuk melanjutkan pendidikan, sebagai utusan
Indonesia dalam organisasi ataupun sebagai diplomat, menurut sejarawan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI, Asvi Warman Adam. Asvi
mengatakan banyak di antara warga Indonesia ini yang “mengembara” dari
satu negara ke negara lain setelah paspor mereka dicabut karena
“dibayangi ketakutan bahwa mereka akan dipulangkan dan di Indonesia akan
ditangkap.”
Sejarawan Bonnie Triyana menyebut mereka sebagai
“eksil-eksil yang dibui tanpa jeruji karena sama seperti korban di
Indonesia, tak bisa melakukan sesuatu sebebas manusia lainnya.” “Berdasarkan
riset saya yang terjadi pada 1965-1966 dan juga 1969, urusan ideologi
tak lagi relevan, siapapun yang dianggap bahaya bagi kemunculan Orde
Baru dihabisin, apakah dia nasionalis, komunis ataupun kalangan agama,” kata Bonnie, Pemimpin Redaksi Majalah Historia. Inilah pengalaman sejumlah di antara mereka – yang berusia 70an dan 80an dan saat ini tinggal di Belanda.
Ibrahim Isa, ‘Sakitnya dicabut identitas’
“Yang pertama itu adalah penderitaan dari segi harga diri. Ketika
paspor saya dicabut dan identitas saya dicabut, seolah nyawa saya
sendiri yang dicabut. Sakit sekali.” “Sejak umur 15 tahun saya
terlibat dalam Badan Keamanan Rakyat yang kemudian menjadi Tentara
Rakyat. Saya ikut berjuang (melawan penjajahan Belanda). Hidup saya
untuk Indonesia. Saya juga pernah jadi guru untuk mendidik, tetapi
mengapa sampai begini?” “Namun kami tak boleh tinggal pada
penderitaan. Saya dan banyak teman saya tak ada perasaan balas dendam.
Kami sepenuhnya realis. Yang penting bersama-sama menghadapi. Sejak
jatuhnya Suharto, ada kemajuan (dari sisi penegakan hak asasi manusia).
Saya punya keyakinan, kemajuan akan terus terjadi.” Ibrahim Isa
bertugas mewakili Indonesia pada akhir 1960 dalam Organisasi
Kesetiakawanan Asia Afrika yang berkantor di Kairo, Mesir, bersama
perwakilan dari delapan negara lain.
Isa sempat kembali ke Jakarta dua minggu setelah Peristiwa G30
September meletus untuk menghadiri Konferensi Anti Pangkalan Militer
Asing pada 17 Oktober 1965. Paspornya dicabut setelah mengikuti Konferensi Trikontinental Asia Afika dan Amerika Latin pada 1966. “Dari
Indonesia tak ada yang datang, karena ada perubahan besar dan kami
diminta datang (oleh Organisasi Konperensi Kesetiawakanan Asia Afrika)
bersama beberapa teman Tiba-tiba ada orang Indonesia yang datang dan
saya katakan kepada panitia bahwa yang datang adalah militer.” “Ini membuat Jakarta marah, Ibrahim Isa disebut Gestapu dan pengkhianat bangsa.” Dari
Kuba, Isa mendapatkan tawaran untuk bekerja di lembaga riset Asia
Afrika di Beijing, Cina dan tinggal di sana selama 20 tahun sampai 1986
sebelum akhirnya menetap di Belanda.
Chalik Hamid, ‘Kuburan kami ada di mana-mana’
Chalik berada di Tirana, Albania, untuk mempelajari kesusasteraan negara itu saat terjadi Peristiwa 30 September 1965. “Kami
tak tahu peristiwa itu. Di Albania sedikit sekali informasi dari luar
baik dari radio dan koran sangat terbatas.” kata Chalik yang pernah
menjadi anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia dan ketua Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan sayap kiri di Medan.
“Waktu itu kami 10 orang Indonesia dan rombongan kedua 15 orang…Semua paspor kami dicabut oleh petugas KBRI yang datang dari Cekoslowakia (waktu itu) karena kedutaan Indonesia di Albania dirangkap di sana.” “Selama 25 tahun kami tinggal di Albania. Kami tidak punya paspor dan hanya dikasih izin tinggal. Di Tirana pun kami tidak boleh meninggalkan kota sejauh 50 kilometer. Jadi kami tak pernah keluar dari Albania selama 25 tahun.” “Saya bekerja sebagai penerjemah di Radio Tirana bahasa Indonesia dan selain radio saya harus kerja di pabrik besi yang produksi alat traktor.” “(Selama di Albania), saya tak melihat ibu saya meninggal, kemudian ayah saya dan abang saya. Bukan hanya itu, saya dengar abang saya dicincang dan setelah dikubur karena mereka belum yakin (identitasnya), kemudian digali lagi dan ditinggalkan begitu saja tanpa dikubur lagi. Itu menjadi pikiran saya. Tapi mau bagaimana lagi.”
“Saya banyak menulis puisi yang saya tulis pada dasarnya menentang rezim Orde Baru, di antaranya berjudul Kuburan Kami ada Di mana-mana.” “Kuburan kami ada di mana-mana, kuburan kami berserakan di mana-mana, di berbagai negeri, berbagai benua. Kami adalah orang orang Indonesia yang dicampakkan dari Indonesia, paspor kami dirampas sang penguasa, tak boleh pulang ke halaman tercinta. Kami terus didiskriminasi dan dicampakkan,” Chalik menyampaikan salah satu puisi yang ia tulis. Saat terjadi kekacauan di Eropa Timur pada awal 1990an, Chalik pindah ke Belanda dan menetap di sana sampai sekarang.
“Waktu itu kami 10 orang Indonesia dan rombongan kedua 15 orang…Semua paspor kami dicabut oleh petugas KBRI yang datang dari Cekoslowakia (waktu itu) karena kedutaan Indonesia di Albania dirangkap di sana.” “Selama 25 tahun kami tinggal di Albania. Kami tidak punya paspor dan hanya dikasih izin tinggal. Di Tirana pun kami tidak boleh meninggalkan kota sejauh 50 kilometer. Jadi kami tak pernah keluar dari Albania selama 25 tahun.” “Saya bekerja sebagai penerjemah di Radio Tirana bahasa Indonesia dan selain radio saya harus kerja di pabrik besi yang produksi alat traktor.” “(Selama di Albania), saya tak melihat ibu saya meninggal, kemudian ayah saya dan abang saya. Bukan hanya itu, saya dengar abang saya dicincang dan setelah dikubur karena mereka belum yakin (identitasnya), kemudian digali lagi dan ditinggalkan begitu saja tanpa dikubur lagi. Itu menjadi pikiran saya. Tapi mau bagaimana lagi.”
“Saya banyak menulis puisi yang saya tulis pada dasarnya menentang rezim Orde Baru, di antaranya berjudul Kuburan Kami ada Di mana-mana.” “Kuburan kami ada di mana-mana, kuburan kami berserakan di mana-mana, di berbagai negeri, berbagai benua. Kami adalah orang orang Indonesia yang dicampakkan dari Indonesia, paspor kami dirampas sang penguasa, tak boleh pulang ke halaman tercinta. Kami terus didiskriminasi dan dicampakkan,” Chalik menyampaikan salah satu puisi yang ia tulis. Saat terjadi kekacauan di Eropa Timur pada awal 1990an, Chalik pindah ke Belanda dan menetap di sana sampai sekarang.
Sungkono: Dari Moskow, menjajaki ‘pulang’ lewat Cina, Vietnam dan Thailand
“Pada September 1965 saya berada di Moskow sedang belajar teknik
mesin dan dikirim oleh Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan
sejak tahun 1962.” “Pada 1966, kedutaan Indonesia di Moskow mengumpulkan mahasiswa Indonesia untuk di-screening
dengan berbagai pertanyaan antara lain bagaimana sikap kami terhadap
Peristiwa 1965. Saya jawab saya tidak tahu menahu karena saya di luar
negeri.” “Pada Juni 1966, mulai ada jawaban terhadap mahasiswa yang discreening. Yang dicabut paspornya secara kolektif, dibilang disangsikan kesetiaannya terhadap pemerintah Indonesia.” “(Walau
paspor dicabut), Saya tetap belajar sampai tamat. Pemerintah Uni Soviet
saat itu memberi kesempatan sampai selesai tahun 1967, dan sempat
ditawarkan untuk bekerja dan tinggal di sana.”
“Setelah lulus, keinginan kontak keluarga semakin mendalam. Kami berusaha ke Asia dan memilih Tiongkok…Saya kemudian pernah ke Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand untuk menjajaki pulang. Tapi tak berhasil.” “Akhirnya tahun 1981 meninggalkan Tiongkok ke Belanda (sampai sekarang), dan pada 1987, kami mendirikan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia untuk memelihara hubungan kekeluargaan kami yang berada di luar negeri, khususnya di Belanda.”
“Setelah lulus, keinginan kontak keluarga semakin mendalam. Kami berusaha ke Asia dan memilih Tiongkok…Saya kemudian pernah ke Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand untuk menjajaki pulang. Tapi tak berhasil.” “Akhirnya tahun 1981 meninggalkan Tiongkok ke Belanda (sampai sekarang), dan pada 1987, kami mendirikan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia untuk memelihara hubungan kekeluargaan kami yang berada di luar negeri, khususnya di Belanda.”
Sarmadji, “mengubah kesedihan menjadi kekuatan”
“Saat terjadi Peristiwa 1965, saya tengah sekolah di Tiongkok dan saya tidak tahu menahu apa yang terjadi.”Sarmadji
mengumpulkan sekitar 3.000 buku, sebagian besar tentang apa yang
terjadi pada 1965 dan 1966 dan membuka perpustakaan di rumahnya yang
dibuka untuk umum. “Perpustakaan ini adalah monumen peringatan bagi mereka yang dicabut
paspornya secara paksa dan meninggal di luar negeri. Jumlahnya yang
sudah meninggal sekitar 130 orang dari Tiongkok sampai Eropa Barat.” “Saya
mengumpulkan (buku-buku) ini untuk mengubah kesedihan menjadi kekuatan.
Berangsur-angsur kekuatan saya bertambah dan kesedihan saya berkurang,”
kata Sarmadji.
Pengakuan apa yang terjadi
Baik
Isa, Sungkono, Chalik dan Sarmadji berharap salah satu hal yang akan
dilakukan pemerintah adalah pengakuan atas apa yang terjadi pada 1965
dan 1966. “Yang pertama akui apa yang terjadi, seperti yang sudah
diakui oleh Komnas, dan yang penting juga adalah rehabilitasi nama baik
dan hak hak politik dari warga negara yang direnggut hak-haknya,” kata
Isa. Pada 2012 lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan terjadi pelanggaran HAM berat pada 1965-1966. “Sebagai
utang sejarah masa lalu negeri ini, penyelesaian (pelanggaran HAM
berat) dapat ditempuh melalui mekanisme rekonsiliasi,” kata Profesor
Hafid Abbas, anggota Komnas HAM.
“Idealnya mekanisme penyelesaian kasus semestinya diatur dalam suatu undang-undang. Sayang sekali UU KKR telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006. Masih belum terlambat pada periode kabinet Presiden Joko Widodo, rekonsiliasi diselesaikan dengan menyiapkan UU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) yang memerlukan dukungan politik presiden,” kata Hafid kepada BBC Indonesia. Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, yang menyebut para eksil sebagai “orang-orang Indonesia yang teraniaya”, mengatakan kasus masa lalu ini harus dipilah-pilah karena menyangkut berbagai hal.
“Idealnya mekanisme penyelesaian kasus semestinya diatur dalam suatu undang-undang. Sayang sekali UU KKR telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006. Masih belum terlambat pada periode kabinet Presiden Joko Widodo, rekonsiliasi diselesaikan dengan menyiapkan UU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) yang memerlukan dukungan politik presiden,” kata Hafid kepada BBC Indonesia. Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, yang menyebut para eksil sebagai “orang-orang Indonesia yang teraniaya”, mengatakan kasus masa lalu ini harus dipilah-pilah karena menyangkut berbagai hal.
“Misalnya untuk para
eksil adalah soal pencabutan paspor, yang perlu dijadikan satu kasus,
dan kemudian kasus lain seperti diskriminasi anak korban yang tak
Malam jahanam di hutan jati Jeglong
Pada siang nan terik di awal pekan
kedua September, di salah-satu sudut hamparan hutan jati yang meranggas
di pinggiran Kota Pati, Jateng, pria ringkih itu terlihat tenang ketika
tangannya menunjuk sebuah gundukan tanah. "Di sini, 10 orang dalam keadaan terikat, ditembak dari belakang, dan dimasukkan lubang." Radimin,
pria ringkih berusia 80 tahun itu, mengungkapkan kejadian horor itu
yang dia saksikan pada sebuah malam kira-kira 50 tahun silam. Dia
kemudian melangkah beberapa meter ke arah timur, dan menunjuk sebuah
gundukan tanah lainnya. Di dalamnya ada 15 jasad manusia, katanya.
"15 orang lainnya (dipaksa) lari-lari dari mobil, (dipaksa) masuk lubang. (Dan) ditembak di dalam lubang," ujarnya, datar. Gundukan tanah, yang di atasnya tumbuh
ilalang kering, adalah kuburan massal 25 orang yang dituduh simpatisan
atau anggota Partai Komunis Indonesia, PKI - atau orang-orang yang cuma
dikait-kaitkan.Dari 10 lubang yang digali, 25 orang itu dikubur
dalam tiga lubang terpisah. Tiga lubang lainnya dibiarkan menganga
hingga sekarang, dan empat lubang lainnya ditanami pohon pisang oleh
warga.
'Saya dipaksa melihat dari dekat'
Ketika
saya datangi, lokasi pembantaian yang terletak di hutan Jeglong, milik
Perhutani, Desa Mantup, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, terlihat agak
senyap. Hanya terdengar suara nyaring Radimin dan suara gesekan sepatu dan rumput kering, serta sayup-sayup kicau burung di kejauhan. Tapi
di malam jahanam pada Desember 1965 lalu, Radimin dipaksa menyaksikan
tindakan brutal -yang barangkali sulit dia lupakan seumur hidupnya. Para pelaku pembantaian, menurutnya, adalah orang-orang dari "Pemuda
Garuda Pancasila" yang disebutnya menggunakan senjata milik aparat
kepolisian dan tentara.
"Saya dipaksa melihat dari dekat, nggak
boleh jauh-jauh," ungkap petani yang tinggal di desa tidak jauh dari
lokasi pembantaian. Dari percakapan diantara para pelaku
pembantaian, dia mendengar bahwa orang-orang naas itu -yang ditutup
matanya- dianggap anggota atau simpatisan PKI. "Orang-orang itu dicap jahat, PKI, pengkhianat, pokoke (pokoknya) dianggap mau menjatuhkan pemerintahan," tambahnya kepada saya, sesekali dengan menggunakan bahasa Jawa.
Mengenali satu korban
Tidak
diketahui siapa-siapa yang jasadnya terkubur di hutan jati itu, tetapi
salah-seorang korbannya diketahui oleh Radimin sebagai kenalannya. "Orang
itu bernama Jaiz. Radimin mengenalinya, karena secara tak sengaja
penutup mata korban terbuka, ketika dia terjatuh setelah berupaya lari,"
kata Radimin, seperti ditirukan Supardi, eks tahanan politik Pulau
Buru, salah-satu orang pertama yang mengungkap kuburan massal "Jeglong".
Supardi, 75 tahun, juga mengaku mengenali sosok Jaiz yang disebutnya
calon relawan yang hendak dikirim ke Kalimantan saat Indonesia terlibat
konfrontasi dengan Malaysia pada 1964. Lainnya? Supardi
mengangkat bahu. Tidak tahu. "Semua itu rahasia, tertutup. Mereka belum
pasti dari Pati. Mereka biasanya diambil malam hari. Istilahnya dibon," ungkapnya. Menurutnya, pemerintah yang wajib mengungkap siapa yang dibunuh dan dikubur di hutan jati itu. "Benarkah yang dikubur itu orang 'jelek'?
Benarkah orang-orang yang dibunuh itu bersalah? Pemerintah harus
mengungkap kebenarannya," kata Supardi. Bersama organisasi
Yayasan penelitian korban pembunuhan (YPKP) 1965/1966 cabang Pati,
Supardi dan kawan-kawan sejak awal tahun 2000 telah melacak setidaknya
ada delapan kuburan massal di wilayah Pati.
Komnas HAM turun ke Pati
Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), ungkap Supardi, juga telah
mendatangi lokasi kuburan massal tersebut sekitar tahun 2008. "Termasuk
telah mendengarkan kesaksian Pak Radimin dan Pak Karmain, saksi lain
yang ikut mengubur korban pembantaian di hutan Jeglong," jelas seniman
mantan anggota Lekra -organisasi kesenian dibawah PKI. Komnas HAM memang telah melakukan penyelidikan kekerasan pasca 1965
yang menimpa orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan atau anggota
PKI. Dalam kesimpulannya, mereka menyatakan ada pelanggaran HAM
berat terhadap kasus-kasus kekerasan yang menimpa para simpatisan PKI.
Kepada Komnas HAM, YPKP Pati telah
menuntut agar mereka mengungkap kebenaran di balik keberadaan kuburan
massal di wilayah Pati tersebut. "Apabila sudah ditemukan
kebenaran, harap kuburan itu dibongkar dan tulang-tulangnya di
kembalikan ke masyarakat," tandas Supardi. Dalam wawancara khusus
dengan BBC Indonesia, Ketua Komnas HAM Nur Kholis mengatakan
pengungkapan kuburan massal merupakan salah-satu upaya pengungkapan
kebenaran. "Tetapi untuk melakukan itu diperlukan konsensus
nasional dulu, kalau tidak upaya-upaya itu hanya akan menimbulkan
masalah baru," kata Nur Kholis.
Kebenaran tetap terkubur?
Dia
kemudian merujuk pada sejumlah kasus penolakan sebagian anggota
masyarakat terhadap aktivitas atau diskusi yang dikaitkan dengan latar
peristiwa 1965. "Saat ini harus diakui, di lapangan, diskusi-diskusi itu (soal kekerasan pasca 1965) masih kadang-kadang dibubarkan," jelasnya. Di
Blitar, 13 tahun silam, upaya penggalian Gua Tikus, tempat kuburan
massal simpatisan PKI juga ditolak oleh Bupati Blitar, karena alasan
"meresahkan masyarakat".
Nur Kholis menganalisa, penolakan itu disebabkan adanya "distorsi
informasi" yang berkembang masyarakat, bahwa seolah-seolah penyelidikan
Komnas dalam kasus '65 itu akan berujung pada rehabilitasi PKI. "Ini
tidak menyangkut dengan ideologi. Misalnya presiden harus menyatakan
penyesalan kepada partai tertentu (PKI), tidak. Dalam konteks
korban-korban anak bangsa itulah, Presiden menyatakan penyesalannya,"
tandas Nur Kholis. Pernyataan Nur Kholis itu, bagaimanapun,
menyiratkan bahwa upaya pengungkapan kebenaran kasus kekerasan pasca
1965, termasuk pembongkaran kuburan massal, sepertinya bakal memakan
waktu lama. Upaya pencarian kebenaran yang dilakukan Supardi dan
kawan-kawan, tampaknya, masih akan terkubur lama di bawah hutan jati
Jeglong yang sepi itu.
Langganan:
Postingan (Atom)
My Dream....
- INDONESIAN NEO SOCIALISM
- Dalam kesunyian masing masing untuk mencari yang tidak ada, mengejar yang tak lari, dan menggapai yang tak nampak....